Dear X

konten 1
konten 2
konten 3
GEOGRAFI (3) cita-cita (1) (1)

Minggu, 28 Februari 2016

Will you?

Beberapa hari ini lebay gue kumat lagi..hahaha. Thanks to my new friend :)

Sometimes I think it is better if we aren't close each other because a way that I ever think that friend come and go, and it's hurt when we lost someone. When I was in jhs, Aya-chan ever leave me because a reason I never knew. I like her as my sister, but she went away from my circle friend... I feel very lost her, but she didn't. Then, I never be extrovert like before, and become a little mysterious...and get a predicate it when shs.

Today I aware something, if we have a friend or some friends....the hurt feeling if we lost each other.... being an independent again, because we need each others...

Next, I was listened my neighbourhood feeling (she is my kindergarden friend). She said really missed and feel lost if she no contact with her close friends.. It's because a cut of heart become her friends.
Some time I never believe about it again, but when she said it, I was starting to believe again, that's a true feeling. But, there is a lot secret in everyperson.

I just wanna said:
"Will you leave me if you know all about me?"

Although I always do my best only in my perfect perspective, I'm not perfect. That's all.

-The End-

Kamis, 11 Februari 2016

English Literature

It is more fun to reading English Literature than Indonesia literature, because Eglish give more simple language to understand than Indonesia. I just aware that the aglomeration of advanced nations (negara maju) is use English as their primary language. Look at America, UK, Australia, commonwealth nations!
If Indonesia media, especially TV required to 50% use English language, I think it will be faster to be advanced nation. 
Why? Because all of knowledge of the world more than 50% use English... so that the quality of education will be better.

Sabtu, 06 Februari 2016

inti dasar geografi

Geografi pada dasarnya adalah ilmu untuk mengungkapkan fakta-fakta wilayah tentang (permukaan) bumi: litosfer, biosfer, hidrosfer, antrosfer (divided to human geography & physical geography--and there are ortodox & integrated geography); lalu mensintesisnya menjadi kajian-kajian yang holistik. Jadi, yang dilakukan terus-menerus adalah penemuan-penemuan hal-hal yang belum diketahui (science). Bukannya membuat suatu teknologi baru untuk mengatasi masalah, seperti halnya teknik.

Ini masih sebatas pemahamanku. Saat konsultasi pembimbing skripsi ternyata memang demikian adanya, sehingga dulu proposal skripsiku tentang modifikasi JPO ditolak.

Geografi membantu pada pencarian fakta-fakta untuk perencanaan pembangunan, yang nantinya berguna untuk rumusan kebijakan. Untuk itu hendaknya ahli geografi mahir mempergunakan konsep-konsep geografi, termasuk tema, pendekatan dan analisisnya dalam kehidupan sehari-hari.

Komprehensif dan holistik adalah makanan sehari-hari geografi.

Selasa, 19 Januari 2016

Pilihan karir

disela-sela kegiatanku aku sempatkan menulis. Karena aku ingin menjadi penulis fiksi dan non fiksi geografi. Mempublikasikan geografi itu gak cuma begini aja loh? tapi nyaris semua hal bisa digeografikan. Aku ingin Indonesia yang lebih  maju, apa keinginanku terlalu tinggi dicapai? saya rasa dengan tetap berusaha semua mungkin saja. "Yang ada adalah kemauan bukan ketidakmampuan!" simpan sifat pemalumu, dan tunjukkan kemampuanmu..

Kamis, 07 Januari 2016

Orang yang Bahagia

Orang yang bahagia adalah orang yang tahu  akan potensi yang dimiliki serta memaksimalkan sampai menorehkan hasil. Focus your life to your destiny.- Andry Lesmono.

dari blog temen gue.

Kamis, 10 Desember 2015

Siapa Penjaga “Langsung” Hutan di Indonesia?

Oleh: Lady Hafidaty Rahma Kautsar

Sebuah Perjalanan 10 Desember 2015
Langit menangis, pada saat saya hendak menyusuri jalan menuju Perpustakaan UI, tepatnya di ruang Cinema. Hari ini, dengan semangat baja, saya menerjang hujan (dengan nekad membeli payung—yang entah kenapa rejeki banget, di jual persis di depan stasiun Pocin).
     Ya, perjalanan saya tidak sia-sia. Saya mendapatkan berbagai pengetahuan dan ilmu di ruang itu siang ini. Serta pertemanan baru dengan junior dari Psikologi UI yang cukup kritis, ekstrovert dan ramah. Lingkungan dan manusia, kemungkinan itulah passion saya. Semenjak masuk di jurusan berhubungan ilmu bumi... merasa tertantang untuk terus mengasah daya ingat, cara pandang dan ketajaman berpikir seorang geografer macam saya. Hingga level tertinggi yang paling mungkin saya capai. With my own way. 

Jika melihat judul di atas, bisa ditebak “hutan”. What’s up with the forest? Who care with it? If Not Us, Then Who? Namun, secara logika...

Kalo gue anak kota, hidup di kota, belajar/kerja di kota, gak di hutan, gimana gue jaga hutan coba? Gue kan gak mungkin berperan langsung.. (well, sebenarnya jaga hutan bisa macam-macam bentuknya, misalnya menghemat produk hutan berupa kertas—tapi saya sadari selama masih diproduksi massal kertas sih...ehm, setidaknya penggunaan kertas yang bolak-balik cukup membantu karena jika rantai konsumtif akan mempengaruhi produksi kertas juga).

Terus? Siapa yang bisa berperan LANGSUNG?
Jawabannya di film yang gue tonton ini: MASYARAKAT ADAT.

Well, sebenarnya ada 4 film yang dibahas disini. Secara inti masyarakat adatlah yang memiliki kebutuhan pada hutan secara langsung untuk bertahan hidup, sehingga merekalah tokoh-tokoh sebenarnya yang menjaga hutan.
Berbagai kasus soal masyarakat adat ini, salah satunya ialah tanah. Tanah adat. Dikatakan pada diskusi film bahwa dipetakan wilayah termasuk wilayah masyarakat adat dengan skala 1:250.000.
( Ini tidak sepenuhnya benar, menurut pendapat saya. Peta ada bermacam skalanya, dari skala kecil, menengah dan besar, dibuat tergantung kebutuhan dan permintaan klien. Seharusnya BIG dalam membuat peta memberikan wadah bagi masyarakat setempat yang dipetakan untuk ikut berpartisipasi dalam membuat peta. Masyarakat pun melapor pada BIG berkaitan dengan pemetaan wilayahnya. Misalkan, masyarakat adat membuat peta skala besar untuk wilayahnya, kemudian BIG diberikan data tersebut sebagai referensi saat membuat peta baik skala besar, menengah maupun kecil. Masalahnya, dalam pembuatan peta apakah konsultan yang memenangkan tender membuat peta mau berkomitmen untuk berkoordinasi dengan masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga? Artinya, pemetaan pun menjadi lebih lama, karena menginginkan hasil yang akurat dan maksimal. Akurat dan maksimal berarti waktu pun bertambah. Buatlah waktu yang realistis untuk deadline, dan sebaiknya tidak ada pembuat peta yang overlap mengerjakan project, karena akan tidak maksimal. 
Biaya pun sebenarnya bisa ditekan jika masyarakat adat mau membantu pemetaan, karena ini juga menyangkut kepentingan mereka juga. Daripada tidak diakui wilayahnya? Inilah yang disemestinya disebut dengan ONE MAP POLICY. Kebijakan Satu Peta. Memang dikeluarkan lembaga berwenang, ditenderkan dan dimenangkan lalu dikerjakan oleh konsultan, tetapi alangkah baiknya jika dibuat UU untuk melibatkan masyarakat setiap membuat peta, terutama untuk peta skala menengah dan besar. Dan apabila dari citra, pergunakanlah citra yang memang tampak jelas, jangan samar-samar, karena akan mempengaruhi output kualitas peta yang dihasilkan. )
Masalah tanah lagi-lagi sengketa tanah dengan perusahaan yang ingin membuka lahan, karena tanah masyarakat adat tidak terpetakan dalam peta, jadi pemerintah memberi izin untuk membuka lahan.
{ Tanah adat, semestinya dibuatkan setifikat tanahnya—inilah yang pernah menjadi fokus oleh Bapak I Made Sandy dulu. Anak didikannya, Pak Silalahi sayangnya sudah wafat, sehingga informasi ini entah bisa dijelaskan kembali oleh siapa, tetapi tentu buku-buku dan para pakar pertanahan masih ada hingga sekarang (I hope the honest individuals will be the winners) }.
Akhirnya, demi melawan pemerintah  (yang seharusnya pemerintah mendampingi rakyat)—pemerintah yang sudah memberikan izin pada perusahaan membuka lahan baik untuk perkebunan maupun pertambangan—masyarakat melakukan cara-cara yang sama seperti yang dilakukan pemerintah yakni membuat peta. Ya, pemetaan partisipatif dibantu oleh para LSM.
Contohnya masyarakat Kalimantan Barat. Suku Dayak dan Dronas. Masyarakat adat disini melakukan pemetaan partisipatif guna mempertahankan wilayahnya. Dijelaskan pula dalam film sekilas mengenai perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahannya akibat hal tersebut. Kemudian masyarakat Tobelo yang semi nomaden dan berburu membutuhkan hutan untuk menghidupi keluarganya.
Film berlanjut pada Panduman dan Sipituha (Sumatera). Disana hutan tidak dibakar oleh masyarakat adat, tetapi malah dilestarikan. Alasannya karena itulah mata pencaharian mereka. Misalnya, pohon kemenyan mereka ambil getahnya lalu dijual untuk membuat dupa. Namun bapak-bapak yang melakukan mata pencahariannya, karena mendadak menjadi wilayah konsesi ditangkap oleh aparat kepolisian. “Hutan kami harus dipulangkan pada kami”. “Prinsip saya semua hutan yang ada di Indonesia gak boleh dihilangkan.”
    Dibahas pula Sungai Utik, Kalimantan Barat, Indonesia. Disebutkan bahwa hutan itu sangat penting untuk penunjang ekonomi karena banyak sekali yang bisa dipakai. Hutan dengan masyarakat sini menjadi kawan. Pernah ada Tangerang Limited, lalu masyarakat adat demo. “Kalo wilayah ini selamat dan tidak ada konsensi disini dan masih luas, apa yang buat kita pertahankan karena semua di hutan.”

Ya, hutan menjadi sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyakat adat. Banyak tanaman di hutan yang bisa untuk obat (misalnya penyakit gatal, demam, flu, dll) “Rasa syukur pada daerah hutan mesti dijaga”.

Film kemudian dilanjutkan dengan diskusi oleh INFIS (E.N. Irawan Putera), Pusat Studi Antropologi UI—Peneliti senior di PUSCA (Mas Aji), Forest Watch Indonesia (Mas Mufti)—sudah menghasilkan berbagai publikasi. Mereka ingin bikin sistem pelaporan online Indonesia mengenai hutan, tapi kenapa tidak terintegrasi dengan “ LAPOR! “ ?

“60% hutan dikuasai konsensi pertambangan dari luas daratan di pulau-pulau kecil”
“Karena sumber kehidupan masyarakat adat adalah hutan, tidak mungkin membakar hutan”.
“Kebanyakan perusahaan tidak mau bicara...”.


“Sayang sekali dari pembicara tidak satupun ada orang geografinya, padahal geografi mempelajari tentang masyarakat adat juga, dan pemetaan kunci utama dari pembahasan geografer. Peta adalah alat kami—sebagai science dan tools(Lady)

Kalo Bukan Kita, Siapa Lagi? If Not Us, Then Who?
--------------------------------------------------------------------------------------
Pemutaran Film dan Diskusi: Perjuangan Masyarakat Adat dalam Melindungi Hutan Indonesia dan Perubahan Iklim secara Global.
Pusat Riset Perubahan Iklim UI bekerja sama dengan Indonesia Nature Film Society (INFIS).

Selasa, 08 Desember 2015

Tanah di Jakarta (sekilas tentang harga tanah) Jakarta & tata kota

Tulisan ini tidak terlalu akademis, karena tidak menuliskan data kuantitatif. Terutama mengenai harga tanah di Jakarta.

Sudah kita ketahui bahwa lingkungan di Jakarta baik udara, tanah, air sudah tidak dalam kondisi baik, bahkan dapat dikatakan tercemar. Namun warga Indonesia dari seluruh pelosok Indonesia masih berduyun-duyun memilih datang ke kota ini. Ya, ternyata degradasi lingkungan bukanlah penghalang orang untuk tinggal di Jakarta, tetapi desakan ekonomilah dan fasilitas yang memadai (bahkan "mewah") yang menuai berkumpulnya masyarakat di suatu tempat. Tidak dapat dipungkiri, dimana ada pekerjaan yang layak disitulah manusia mengejarnya. Demikianlah Jakarta. Bagai roti yang dikerumuni semut-semut dari berbagai suku. Tidak peduli roti tersebut di daerah bersih, berlumpur atau tidak. Ah, kebutuhan hiduplah yang mendorong orang-orang ke Jakarta.

Jika sudah bekerja, orang tentu butuh tempat tinggal. Namun karena tanah di Jakarta cukup sangat mahal, maka orang tidak mampu membeli rumah di dekat tempat kerja. Akhirnya orang memilih menyewa dekat tempat kerja untuk ditinggali sementara.

Namun jika berkeinginan memiliki rumah (terutama pasangan muda) dan dana kurang membelinya di Jakarta, maka pilihan jatuh ke daerah rumah murah yang tidak begitu jauh dari tempatnya bekerja. Kebetulan daerah yang cukup terjangkau ada di luar Jakarta yaitu antara bodetabek. Itupun dengan menabung sekitar 8 tahun jika cash, dan kurang 5 tahun jika kredit (untuk DP, belum untuk cicilannya). Kita sederhanakan saja: akhirnya yang terjadi ialah komunitas ulang-alik yang kita sebut komutter. Mereka inilah yang bermacet-macetan menuju ibukota tiap pagi dan menuju rumahnya masing-masing jika menjelang malam. Berdesak-desakan jika dengan kendaraan umum, bermacet-macetan jika dengan kendaraan pribadi.

Jika pemerintah mau menyalahkan, bukanlah orang yang bekerja ini dengan kendaraan pribadi atau umum yang harus dipersalahkan, tapi:
1. Kenapa konsentrasi pekerjaan mayoritas menumpuk di Jakarta?
2. Kenapa tidak dibuat sistem dimana rumah pekerja diwajibkan dekat dengan tempatnya bekerja? Mungkin dengan apartemen yang tidak mahal di sekitar tempat bekerja, perusahaan memberikan mess untuk tinggal atau posisi tempat tinggal sewa yang strategis dari kantor, dll.

Kembali pada topik tanah di Jakarta.
Ya, tanah di Jakarta semakin ke pusat Jakarta semakin mahal sekitar entah berapa M. Hal ini tidak ada kaitannya dengan semakin terdegradasinya lingkungan Jakarta (kecuali jika dikaitkan dengan daerah semakin ke utara Jakarta semakin rusak airnya atau terkena intrusi). Degradasi yang dimaksud ialah air, tanah dan udara. Persoalannya tanah di Jakarta semakin tinggi karena pajak semakin ditinggikan, spekulan tanah bermain, dan semakin pentingnya Jakarta sebagai tempat pergerakan uang terbesar di Indonesia. Bayangkan saja, 70% pergerakan uang di Indonesia ada di Jakarta!

Padahal, jika dipikir-pikir kalau tinggal di rumah yang air, udara dan tanahnya sudah tercemar untuk apa? Karena akan membuat kondisi kesehatan kurang baik. Untuk apa uang itu sendiri jika lingkungan, bahkan lingkungan calon rumah sendiri sudah tercemar? Hidup mencari nafkah, tapi nafkah yang dipergunakan tidak bisa menebus biaya pengobatan yang sangat besar dari pencemaran lingkungan tersebut. Tubuh yang sudah terkena kontaminasi akan sulit dikembalikan semula kesehatannya.

Pertanyaannya, bisakah alam termasuk tanah, air dan udara di Jakarta ini diperbaiki? Satu-satunya jawaban adalah penataan kota yang baik melalui penataan oleh para ahli lingkungan, warganya sendiri dan para rekayasawan/teknolog. Seperti dalam buku "Kota yang Berkelanjutan" oleh Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto, kota berkelanjutan ialah kota yang merupakan perpaduan antara ecopolis, humanopolis dan technopolis.

Yang menjadi masalah, siapa yang mau menjadi “jembatan” agar bersatu memperbaiki kota ini? Contoh orang Indonesia yang berhasil menjembatani yakni Astrid Sri Haryati dengan kota San Francisco dan kota Chicago, Amerika? (sebagai catatan beliau menjembatani dalam aspek penghijauan kota, bukan dalam hal seluruh aspek lingkungan, tetapi poinnya ialah “menjembatani”). Next time tentang beliau akan saya bahas dalam blog ini. Intinya, diperlukan penasehat dari pihak ahli lingkungan, warga kota Jakarta, dan perekayasawan/wati/teknolog yang menjembatani demi kepentingan bersama (berdiskusi bersama).


Powered by mp3skull.com