Dear X

konten 1
konten 2
konten 3
GEOGRAFI (3) cita-cita (1) (1)

Kamis, 10 Desember 2015

Siapa Penjaga “Langsung” Hutan di Indonesia?

Oleh: Lady Hafidaty Rahma Kautsar

Sebuah Perjalanan 10 Desember 2015
Langit menangis, pada saat saya hendak menyusuri jalan menuju Perpustakaan UI, tepatnya di ruang Cinema. Hari ini, dengan semangat baja, saya menerjang hujan (dengan nekad membeli payung—yang entah kenapa rejeki banget, di jual persis di depan stasiun Pocin).
     Ya, perjalanan saya tidak sia-sia. Saya mendapatkan berbagai pengetahuan dan ilmu di ruang itu siang ini. Serta pertemanan baru dengan junior dari Psikologi UI yang cukup kritis, ekstrovert dan ramah. Lingkungan dan manusia, kemungkinan itulah passion saya. Semenjak masuk di jurusan berhubungan ilmu bumi... merasa tertantang untuk terus mengasah daya ingat, cara pandang dan ketajaman berpikir seorang geografer macam saya. Hingga level tertinggi yang paling mungkin saya capai. With my own way. 

Jika melihat judul di atas, bisa ditebak “hutan”. What’s up with the forest? Who care with it? If Not Us, Then Who? Namun, secara logika...

Kalo gue anak kota, hidup di kota, belajar/kerja di kota, gak di hutan, gimana gue jaga hutan coba? Gue kan gak mungkin berperan langsung.. (well, sebenarnya jaga hutan bisa macam-macam bentuknya, misalnya menghemat produk hutan berupa kertas—tapi saya sadari selama masih diproduksi massal kertas sih...ehm, setidaknya penggunaan kertas yang bolak-balik cukup membantu karena jika rantai konsumtif akan mempengaruhi produksi kertas juga).

Terus? Siapa yang bisa berperan LANGSUNG?
Jawabannya di film yang gue tonton ini: MASYARAKAT ADAT.

Well, sebenarnya ada 4 film yang dibahas disini. Secara inti masyarakat adatlah yang memiliki kebutuhan pada hutan secara langsung untuk bertahan hidup, sehingga merekalah tokoh-tokoh sebenarnya yang menjaga hutan.
Berbagai kasus soal masyarakat adat ini, salah satunya ialah tanah. Tanah adat. Dikatakan pada diskusi film bahwa dipetakan wilayah termasuk wilayah masyarakat adat dengan skala 1:250.000.
( Ini tidak sepenuhnya benar, menurut pendapat saya. Peta ada bermacam skalanya, dari skala kecil, menengah dan besar, dibuat tergantung kebutuhan dan permintaan klien. Seharusnya BIG dalam membuat peta memberikan wadah bagi masyarakat setempat yang dipetakan untuk ikut berpartisipasi dalam membuat peta. Masyarakat pun melapor pada BIG berkaitan dengan pemetaan wilayahnya. Misalkan, masyarakat adat membuat peta skala besar untuk wilayahnya, kemudian BIG diberikan data tersebut sebagai referensi saat membuat peta baik skala besar, menengah maupun kecil. Masalahnya, dalam pembuatan peta apakah konsultan yang memenangkan tender membuat peta mau berkomitmen untuk berkoordinasi dengan masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga? Artinya, pemetaan pun menjadi lebih lama, karena menginginkan hasil yang akurat dan maksimal. Akurat dan maksimal berarti waktu pun bertambah. Buatlah waktu yang realistis untuk deadline, dan sebaiknya tidak ada pembuat peta yang overlap mengerjakan project, karena akan tidak maksimal. 
Biaya pun sebenarnya bisa ditekan jika masyarakat adat mau membantu pemetaan, karena ini juga menyangkut kepentingan mereka juga. Daripada tidak diakui wilayahnya? Inilah yang disemestinya disebut dengan ONE MAP POLICY. Kebijakan Satu Peta. Memang dikeluarkan lembaga berwenang, ditenderkan dan dimenangkan lalu dikerjakan oleh konsultan, tetapi alangkah baiknya jika dibuat UU untuk melibatkan masyarakat setiap membuat peta, terutama untuk peta skala menengah dan besar. Dan apabila dari citra, pergunakanlah citra yang memang tampak jelas, jangan samar-samar, karena akan mempengaruhi output kualitas peta yang dihasilkan. )
Masalah tanah lagi-lagi sengketa tanah dengan perusahaan yang ingin membuka lahan, karena tanah masyarakat adat tidak terpetakan dalam peta, jadi pemerintah memberi izin untuk membuka lahan.
{ Tanah adat, semestinya dibuatkan setifikat tanahnya—inilah yang pernah menjadi fokus oleh Bapak I Made Sandy dulu. Anak didikannya, Pak Silalahi sayangnya sudah wafat, sehingga informasi ini entah bisa dijelaskan kembali oleh siapa, tetapi tentu buku-buku dan para pakar pertanahan masih ada hingga sekarang (I hope the honest individuals will be the winners) }.
Akhirnya, demi melawan pemerintah  (yang seharusnya pemerintah mendampingi rakyat)—pemerintah yang sudah memberikan izin pada perusahaan membuka lahan baik untuk perkebunan maupun pertambangan—masyarakat melakukan cara-cara yang sama seperti yang dilakukan pemerintah yakni membuat peta. Ya, pemetaan partisipatif dibantu oleh para LSM.
Contohnya masyarakat Kalimantan Barat. Suku Dayak dan Dronas. Masyarakat adat disini melakukan pemetaan partisipatif guna mempertahankan wilayahnya. Dijelaskan pula dalam film sekilas mengenai perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahannya akibat hal tersebut. Kemudian masyarakat Tobelo yang semi nomaden dan berburu membutuhkan hutan untuk menghidupi keluarganya.
Film berlanjut pada Panduman dan Sipituha (Sumatera). Disana hutan tidak dibakar oleh masyarakat adat, tetapi malah dilestarikan. Alasannya karena itulah mata pencaharian mereka. Misalnya, pohon kemenyan mereka ambil getahnya lalu dijual untuk membuat dupa. Namun bapak-bapak yang melakukan mata pencahariannya, karena mendadak menjadi wilayah konsesi ditangkap oleh aparat kepolisian. “Hutan kami harus dipulangkan pada kami”. “Prinsip saya semua hutan yang ada di Indonesia gak boleh dihilangkan.”
    Dibahas pula Sungai Utik, Kalimantan Barat, Indonesia. Disebutkan bahwa hutan itu sangat penting untuk penunjang ekonomi karena banyak sekali yang bisa dipakai. Hutan dengan masyarakat sini menjadi kawan. Pernah ada Tangerang Limited, lalu masyarakat adat demo. “Kalo wilayah ini selamat dan tidak ada konsensi disini dan masih luas, apa yang buat kita pertahankan karena semua di hutan.”

Ya, hutan menjadi sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyakat adat. Banyak tanaman di hutan yang bisa untuk obat (misalnya penyakit gatal, demam, flu, dll) “Rasa syukur pada daerah hutan mesti dijaga”.

Film kemudian dilanjutkan dengan diskusi oleh INFIS (E.N. Irawan Putera), Pusat Studi Antropologi UI—Peneliti senior di PUSCA (Mas Aji), Forest Watch Indonesia (Mas Mufti)—sudah menghasilkan berbagai publikasi. Mereka ingin bikin sistem pelaporan online Indonesia mengenai hutan, tapi kenapa tidak terintegrasi dengan “ LAPOR! “ ?

“60% hutan dikuasai konsensi pertambangan dari luas daratan di pulau-pulau kecil”
“Karena sumber kehidupan masyarakat adat adalah hutan, tidak mungkin membakar hutan”.
“Kebanyakan perusahaan tidak mau bicara...”.


“Sayang sekali dari pembicara tidak satupun ada orang geografinya, padahal geografi mempelajari tentang masyarakat adat juga, dan pemetaan kunci utama dari pembahasan geografer. Peta adalah alat kami—sebagai science dan tools(Lady)

Kalo Bukan Kita, Siapa Lagi? If Not Us, Then Who?
--------------------------------------------------------------------------------------
Pemutaran Film dan Diskusi: Perjuangan Masyarakat Adat dalam Melindungi Hutan Indonesia dan Perubahan Iklim secara Global.
Pusat Riset Perubahan Iklim UI bekerja sama dengan Indonesia Nature Film Society (INFIS).

Selasa, 08 Desember 2015

Tanah di Jakarta (sekilas tentang harga tanah) Jakarta & tata kota

Tulisan ini tidak terlalu akademis, karena tidak menuliskan data kuantitatif. Terutama mengenai harga tanah di Jakarta.

Sudah kita ketahui bahwa lingkungan di Jakarta baik udara, tanah, air sudah tidak dalam kondisi baik, bahkan dapat dikatakan tercemar. Namun warga Indonesia dari seluruh pelosok Indonesia masih berduyun-duyun memilih datang ke kota ini. Ya, ternyata degradasi lingkungan bukanlah penghalang orang untuk tinggal di Jakarta, tetapi desakan ekonomilah dan fasilitas yang memadai (bahkan "mewah") yang menuai berkumpulnya masyarakat di suatu tempat. Tidak dapat dipungkiri, dimana ada pekerjaan yang layak disitulah manusia mengejarnya. Demikianlah Jakarta. Bagai roti yang dikerumuni semut-semut dari berbagai suku. Tidak peduli roti tersebut di daerah bersih, berlumpur atau tidak. Ah, kebutuhan hiduplah yang mendorong orang-orang ke Jakarta.

Jika sudah bekerja, orang tentu butuh tempat tinggal. Namun karena tanah di Jakarta cukup sangat mahal, maka orang tidak mampu membeli rumah di dekat tempat kerja. Akhirnya orang memilih menyewa dekat tempat kerja untuk ditinggali sementara.

Namun jika berkeinginan memiliki rumah (terutama pasangan muda) dan dana kurang membelinya di Jakarta, maka pilihan jatuh ke daerah rumah murah yang tidak begitu jauh dari tempatnya bekerja. Kebetulan daerah yang cukup terjangkau ada di luar Jakarta yaitu antara bodetabek. Itupun dengan menabung sekitar 8 tahun jika cash, dan kurang 5 tahun jika kredit (untuk DP, belum untuk cicilannya). Kita sederhanakan saja: akhirnya yang terjadi ialah komunitas ulang-alik yang kita sebut komutter. Mereka inilah yang bermacet-macetan menuju ibukota tiap pagi dan menuju rumahnya masing-masing jika menjelang malam. Berdesak-desakan jika dengan kendaraan umum, bermacet-macetan jika dengan kendaraan pribadi.

Jika pemerintah mau menyalahkan, bukanlah orang yang bekerja ini dengan kendaraan pribadi atau umum yang harus dipersalahkan, tapi:
1. Kenapa konsentrasi pekerjaan mayoritas menumpuk di Jakarta?
2. Kenapa tidak dibuat sistem dimana rumah pekerja diwajibkan dekat dengan tempatnya bekerja? Mungkin dengan apartemen yang tidak mahal di sekitar tempat bekerja, perusahaan memberikan mess untuk tinggal atau posisi tempat tinggal sewa yang strategis dari kantor, dll.

Kembali pada topik tanah di Jakarta.
Ya, tanah di Jakarta semakin ke pusat Jakarta semakin mahal sekitar entah berapa M. Hal ini tidak ada kaitannya dengan semakin terdegradasinya lingkungan Jakarta (kecuali jika dikaitkan dengan daerah semakin ke utara Jakarta semakin rusak airnya atau terkena intrusi). Degradasi yang dimaksud ialah air, tanah dan udara. Persoalannya tanah di Jakarta semakin tinggi karena pajak semakin ditinggikan, spekulan tanah bermain, dan semakin pentingnya Jakarta sebagai tempat pergerakan uang terbesar di Indonesia. Bayangkan saja, 70% pergerakan uang di Indonesia ada di Jakarta!

Padahal, jika dipikir-pikir kalau tinggal di rumah yang air, udara dan tanahnya sudah tercemar untuk apa? Karena akan membuat kondisi kesehatan kurang baik. Untuk apa uang itu sendiri jika lingkungan, bahkan lingkungan calon rumah sendiri sudah tercemar? Hidup mencari nafkah, tapi nafkah yang dipergunakan tidak bisa menebus biaya pengobatan yang sangat besar dari pencemaran lingkungan tersebut. Tubuh yang sudah terkena kontaminasi akan sulit dikembalikan semula kesehatannya.

Pertanyaannya, bisakah alam termasuk tanah, air dan udara di Jakarta ini diperbaiki? Satu-satunya jawaban adalah penataan kota yang baik melalui penataan oleh para ahli lingkungan, warganya sendiri dan para rekayasawan/teknolog. Seperti dalam buku "Kota yang Berkelanjutan" oleh Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto, kota berkelanjutan ialah kota yang merupakan perpaduan antara ecopolis, humanopolis dan technopolis.

Yang menjadi masalah, siapa yang mau menjadi “jembatan” agar bersatu memperbaiki kota ini? Contoh orang Indonesia yang berhasil menjembatani yakni Astrid Sri Haryati dengan kota San Francisco dan kota Chicago, Amerika? (sebagai catatan beliau menjembatani dalam aspek penghijauan kota, bukan dalam hal seluruh aspek lingkungan, tetapi poinnya ialah “menjembatani”). Next time tentang beliau akan saya bahas dalam blog ini. Intinya, diperlukan penasehat dari pihak ahli lingkungan, warga kota Jakarta, dan perekayasawan/wati/teknolog yang menjembatani demi kepentingan bersama (berdiskusi bersama).

Sabtu, 05 Desember 2015

LAPOR! 2013 vs konsep ide gue 2012

Seneng banget! Sebenernya udah berita lama. Tapi gue baru ngubek-ngubek sekarang hehe.

Coba deh liat di http://www.republika.co.id/berita/rol-to-campus/feui/12/06/18/m5srxu-pemerintah-tak-punya-public-relations-yang-baik tahun 2012 lalu atau disini http://jeveuxuneaugmentation.blogspot.co.id/2015/12/pemerintah-tak-punya-public-relations.html

Idenya LAPOR! ( https://www.lapor.go.id/ ) mirip sama konsep custumer serviceyang gue tulis.

Seneng idenya direalisasikan, tapi kok ga bilang-bilang ya? -_____- jlebjlebjleb

Gue gak sukanya Indonesia kayak gitu tuh. Gak apresiasi ide orang lain, ambil ide orang gitu aja gak bilang-bilang. Gue seneng idenya dipake dan direalisasiin, tapi alangkah LEBIH ETIS kalau memberitahu pada yang mencetuskan ide awalnya.

Makasih banyak.

Pemerintah tak Punya Public Relations yang Baik

http://www.republika.co.id/berita/rol-to-campus/feui/12/06/18/m5srxu-pemerintah-tak-punya-public-relations-yang-baik

Tulisan gue jaman dulu. Sebenernya judulnya diubah..yang asli: "Desakan Sebuah Kebijakan".

Senin, 18 Juni 2012.
REPUBLIKA.CO.ID,Bait tulisan“Sebaiknya pemerintah melakukan...”, “Pemerintah dalam hal ini diharapkan...” dalam tulisan opini-opini media massa dalam sebuah kolom opini, biasanya tidak lepas dari kalimat semacam ini. Seringkali saya membaca tulisan-tulisan opini pada mulanya berbobot, mengkisahkan
berbagai fenomena mengerikan di masyarakat, akan tetapi pada akhirnya tak lepas dari ‘memasrahkan harapannya pada pemerintah’.

Saya tidak mencoba berargumen bahwa tulisan tersebut adalah sebuah kesalahan. Kesalahan utama adalah saat kita sebagai makhlukNya kadang ingin merasa benar, sehingga tidak mencoba menelusuri lewat kacamata orang lain. Pemerintah, dalam suatu negara adalah sebuah maha-organisasi, yang sangat besar wewenangnya, tetapi tetaplah pemerintah yang terdiri dari individu-individu. Artinya ketidaksinkronisasi sangat mungkin terjadi disini. Sinkronisasi bahwa tidak semua dari mereka tahu apa yang kita ketahui.

Pelayangan ketidakpuasan di negeri ini, baik berbentuk kekesalan, kesedihan, ketidaksenangan seringkali terkuak lewat media yang tidak langsung bersinggungan dengan pemerintah. Twitter, facebookmisalnya. Media massa seperti koran dan radio sendiri pun bisa dikategorikan media tidak langsung yang bersinggungan dengan pemerintah.

Permasalahan utama disini adalah mengapa tidak dibuat sarana pelampiasan permasalahan di Indonesia semacam operator customer service yang langsung terhubung dengan pemerintah? Konsep yang serupa dengan perusahaan penjual produk pada pembelinya untuk mengetahui keinginan sang pembeli. Tentunya konsep ini berarti dimana customer adalah rakyat, dan rakyat menjadi “pembeli” akan service pemerintah.

Konsep operator ini bisa dalam bentuk layanan telepon langsung bebas pulsa dimana, sang operator menjadi pencatat apa yang diinginkan masyarakat. Catatan operator hanyalah poin-poin inti yang diberikan pada pemerintah. Jika pemerintah yang dimaksud adalah presiden, catatan ini diberikan langsung pada beliau. Jika pemerintah yang dimaksud adalah kepala menteri perdagangan pun, catatan ini diberikan langsung pula. Penyertaan bukti catatan dapat berupa rekaman percakapan telepon antara rakyat yang komplain dengan operator.

Namun customer service tidaklah boleh satu arah saja. Perlu ada timbal-balik “jawaban” pada si rakyat yang komplain. Rakyat yang komplain harus memberikan kontak nomor yang bisa dihubungi. Ini dimaksudkan agar komunikasi tetap terjalin sampai permasalahan diselesaikan oleh pemerintah. Kontak nomor pun merupakan bentuk tanggung jawab sang rakyat yang komplain. Sebuah ancaman pula bagi sang rakyat jika komplain yang ia berikan adalah dusta belaka. Sebagai rakyat yang baik, tentunya, rakyat yang komplain pun memiliki keinginan untuk terus-menerus mengikuti permasalahan kasusnya
hingga selesai bukan?

Konsep operator customer service antara rakyat dengan pemerintah bisa dicontohkan sebagai berikut. A dari desa Citarate, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi sudah mencoba komplain rusaknya jalan di desanya yang menyebabkan terhambatnya akses transportasi truk-truk pasir serta aktivitas warga. Ia telah menginformasikan ini pada lurah, bupati, serta gubernur provinsinya melalui surat tetapi hingga mencapai setahun belum ada tanda-tanda perbaikan dari pemerintah tingkat ini. Bersusah payah berusaha melapor pada presiden di istana akan tetapi nihil. Nihil karena ia dianggap tidak berkepentingan dengan presiden secara khusus, ataupun belum memiliki janji dengan presiden. Berita tentang rusaknya jalan di Desa Citarate pun sudah dipublikasikan media, akan tetapi akhirnya tenggelam oleh berita-berita yang lebih hot dari rusaknya akses jalan Citarate. Akhirnya permasalahan tidak terselesaikan, dan masih terus berlanjut dengan terhambatnya aktivitas warga Citarate.

Dari kacamata saya, presiden pastilah sangat sibuk serta memiliki jadwal khusus dalam kepresidenannya (seperti kunjungan demi menjaga hubungan baik negara, rapat-rapat, dan sebagainya), sehingga memang individu yang ingin menemui beliau akan kesulitan. Konsep operator customer service adalah wadah agar semua komplain warga yang ingin diselesaikan tertampung, sehingga ketidakadilan di negeri ini tercapai secara lebih cepat. Melalui media telekomunikasi canggih seperti telepon, mengapa tidak dimanfaatkan?

penulis: Lady Hafidaty (Mahasiswi Geografi 2010)

Sabtu, 21 November 2015

Shaping Your Habbits


Al qasas 77
  • Artinya: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”( Q.S. al Qasas : 77 )

Kebiasaan dan perilaku yang membuat kita sukses: (1)Kerja keras; (2)Tekun; (3)Ulet; (4)Teliti.

KERJA KERAS
Al Jumuah
  • Artinya : “ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. “ ( Q.S. Al-Jumuah : ayat 10 )
 Cara Membiasakan Perilaku Kerja Keras
a. Bekerja harus dilandasi niat yang baik. Niatkan untuk beribadah kepada Allah swt..
b. Awali suatu pekerjaan dengan menyebut nama Allah.
c. Kerjakan dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh.
d. Akhiri dengan menyebut nama Allah.
e. Serahkan segalanya kepada Allah swt ( Tawakal ) .


TEKUN
ar radu
  • Artinya : ” Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah AllahSWT. Sesungguhnya Allah SWT tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah SWT menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” ( Q.S. Ar Radu ayat 11 )
Cara Membiasakan Perilaku Tekun
a. Siapkan perencanaan yang matang dalam memulai aktivitas.
b. Bersungguh-sunggulah dalm setiap aktivitas.
c. Jangan cepat putus asa dalam bekerja dan belajar.
d. Lakukanlahterus pekerjaan yang kamu senangi hingga kamu mampu mengerjakannya
e. Harus banyak bersabar dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
f. Jangan tergesa-gesa dalam mengerjakan sesuatu.
g. Berserah dirilah kepada Allah swt.

ULET
al baqarah
  • Artinya : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( Q.S. Al Baqarah ayat 155 – 157 )
 Cara Membiasakan Perilaku Ulet
Supaya terbiasa ulet dalam semua aktivitas, lakukanlah beberapa hal berikut:
a. Biasakan bersunggug-sungguh dalam setiap aktivitas.
b. Gantungkan cita-citamu setinggi mungkin, kemudian kejarlah dengan belajar yang serius.
c. Jangan cepat putus asa dalam mengerjakan sesuatu yang sulit.
d. Coba dan coba terus pekerjaan yang kamu senangi sampai kamu bisa.
e. Bersabarlah dalam berbagai keadaan.
f. Kembalikan semuanya kepada Allah sambil terus berusaha

TELITI
al hujurat-crop
  • Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” ( Q.S. al-Hujarat : 6 )
 Cara Membiasakan Perilaku Teliti
a. Biasakan rapihdan teratur dalam mengerjakan sesuatu.
b. Jangan mudah terpengaruh orang lain.
c. Lakukanlah check and recheck sebelum memutuskan suatu masalah
d. Sebaiknya hati-hati dalam segala hal.
e. Percayalah kepada diri sendiri.
f. Biasakan menyenangi keteraturan dan ketertiban.

Jumat, 20 November 2015

Penggunaan bahasa inggris yang rada "kacau"

Baru-baru ini saya membaca beberapa artikel perbedaan British English dan American English. Ternyata dari keduanya lebih benar akar dari segala budaya English yakni british English. Coba saja misalnya kita sering bilang di mall  lift (pengangkat/daya angkat) it is american, sebenarnya elevator  (it is british).

Pengucapannya lebih elegan british daripada American. Penggunaan English British pun lebih banyak, Ada 45 negara commonwealth yang menggunakan English British, termasuk negara di Eropa. Jaman saya sekolah dulu selalu disodori bahasa inggris-nya Amerika, demikian pula saat les di LIA masuknya jadi mahzab English American -____-. Wrong option? Padahal secara tata bahasa lebih mantab kalo yang English Britain, daripada Amerika yang acak adul...banyakan bahasa slangnya, idioms. English Britain juga lebih kaya kosakata.

look the difference: http://www.wikihow.com/Speak-in-a-British-Accent
or in Indonesian: http://putrisudrajat.blogspot.co.id/2013/12/british-accent.html

ada beberapa cara biar bisa jago British English:
1, Nonton film & kartun english (rekomended kartun: Charlie & Lola; recomended film: Harry Potter, chronicle of Narnia, Sherlock Holmes, etc)
2. Coba ikutan course-nya https://www.futurelearn.com . ini kuliah dari UK free alias gratis! Bisa dapet sertifikat lagi (dengan syarat dan ketentuan berlaku).

Btw english itu aksennya ada 3: British English, American English and Australian English. Recomended to look this http://magoosh.com/toefl/2015/listening-resources-for-australian-english/

For audio, you can see this http://www.elllo.org/ (saya belum cek ini british atau american atau australia).

Kamis, 24 September 2015

quote of Albert Einstein

“Jangan menjadi sukses, Jadilah berharga”

“Kreatifitas adalah kecerdasan untuk bersenang-senang (lakukan apa yang kamu senangi)”

“Jangan pernah kehilangan rasa penasaran tentang hal yang baik”

“Jika kamu tidak bisa menjelaskan secara sederhana, maka kamu belum mengerti sepenuhnya”

“Semua orang adalah special, dengan bakat mereka masing-masing”

“Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”

“Mempunyai Tujuan yang Jelas”

(7 gold words of Albert Einstein)

galau tulisan

Ada yang bilang kalau kita merefleksikan diri kembali, melihat tulisan sendiri beberapa bulan atau tahun lalu, dan menganggap tulisan tersebut bagus, ada kemungkinan kalau ternyata kita tidak mengalami peningkatan menulis. Sayangnya, sekarang gue mengalami hal tersebut.

Yang namanya nulis kalo ga dari pengalaman, mesti dari riset (kecil-kecilan atau yang mega). Itu supaya tulisannya berkualitas. Nah risetnya ini yang ga mudah, yang paling enak kalo udah pengalaman meriset-riset. Risetnya bisa dari data primer atau sekunder (jadi inget dulu pas kul di geo...haha). 

Begitulah..

Jumat, 04 September 2015

Tanah dan Kampung Pulo: Perbincangan anak K**

K** : UKM Universitas yang bergerak di bidang intelektual (penulisan, kajian, penelitian)

Malem Selasa, akhir Agustus. Baru aja suntuk dengan calon kerjaan baru di tempat kerja baru, dan baru aja ketemu sama sobat buat belajar, dan baru aja pamitan sama tim LM :”) dan segala kesibukan yang bikin tambah energik, jam 2 dini hari masih bangun buat nulis ini di hape (RAJIN)! Jam 10 menemukan perbincangan menarik soal tanah di grup watsaap.
Wah menarik, nih! Pikirku. Karena dulu sempat diajar dosen favorit saya, alm.Silalahi (yg sbg menteri pertahanan keamanan nasional *cek lagi*, entah kenapa berita wafatnya tidak dibombardir media), beliau salah satu orang penting di BPN.
Aku, yang selama ini mulai menjauhi “dunia serius” tertarik dalam perbincangan ini. Berikut kira-kira isi perbincangan kami (tanpa nama).












A: (jempol) makjleb
LT: by Youth Proactive, Transparency International Indonesia
P: (jempol) makjleb (2)
E: (jempol) makjleb  (3)
P: Tapi mau koreksi, setauku ga ada aturan yg menempat tanah lebih dr 20 tahun berhak atas sertifikat tanah (peace)
B: Setahuku jg ga ada yg begitu
P: Eigendom untuk org yg punya 2 kewarganegaraan ada, Mas. Tp hgb. Bukan per sertifikat. Jd ga ada sangkut paut di argumennya (menunjuk keatas)
A: iya kayanya ga ada. Kalo tanahnya emang gak jelas punya siapa, penghuni tanah yg udah lebih dari 20 tahun bisa didaftarkan kepemilikannya (bukan otomatis dapat sertifikat) dan tentunya ada syarat-syarat yg dipenuhi juga. Cmiiw
B: Nah masalahnya yg pelik, di poster2 itu mereka menekankan adanya ‘hak kepemilikan tanah’
Makanya ga mau dipindah ke rusunawa
LT: (panda) (telinga) masih nyimak
P: Bbrp org di kp pulo punya sertifikat, tp argumen mrk yg otomatis dpt sertifikat krn alasan 20 thn memang berbahaya. Bikin sertifikat mmg lama, gue pernah ketemu petani yg masih megang girik masa :, ditanya knp ga diurus “Lah pake ini masih bisa bayar kok neng. Lagian kalo mau cepet bayarnya mahal”. zz
(disini gue kepikiran pas di pekalongan dulu KL2, kenapa ga tanya soal tanah ya... jadi penasaranpadahal belum dapat matkul Perubahan Penggunaan Tanah)
ITP: Itu sumbernya tempo minggu ini ya. Bca td
LT: ditulisannya, berhak mendapat sertifikat tanah. Klo bahasa undang2nya gimana?
B: Nah itu jg faktor
A: Yang bersengketa soal kepemilikan tanah umumnya yg emang warga asli kampung Pulo yg turun temurun. Kalo warga pendatang lebih karena rusunawa plus2 bayarnya lumayan mahal
B: Kadang mereka ga mau ngurus, karena ga mau jadi subjek pajak
P: Berhak itu diatur di pasal 19 bg 2 UU PA, tp hukum ga tegas
Kadang krn dipalakin juga, Mas. Ada yg pernah kapok bikin sertifikat krn dipalak pencapil bpn 2 jt (panda melet)
Baru sekarang itu katanya proses mau didgitalisasi
B: Dan setahu saya berhak itu artinya kalo dari awal tanahnya ‘ga bertuan’ atau ga jelas, berhak diurus sertifikatnya. Bukan otomatis berhak jadi milik
P: (menunjuk keatas) tul
LT: klo kata temen, BPN di daerah itu udah kyk “dewa”.
P: Iya hahaha, Ahok jg pernah bilang mafia tanah itu BPN. Wong mrk tau kok cara malsuin sertifikat, tp kayak santai-santai aja (kucing)
A: (gambar LARASITA)
P: Gak jalan, sumpah (menunjuk keatas)
A: Program Larasita udah mulai jalan di bbrp daerah (katanya)
P: Banyak kasus sengketa tanah terjadi, baik dari industri ataupun negara, krn pendapatan tanah yg buruk. Yg kemarin di Karawang misalnya, gila gak sih tanah 70 petaninya masih ada yg pegang girik -_-
A: Jakarta ada pe, ga jauh dari daerah rumah gw masih ada yg mau jual tanah ga punya sertifikat
P: :’ :’ :’
A: Tanah di bantaran kali dibilang tanah negara. Tanah terminal aja banyak dibikin mal haha
IB: [Tanah JAKARTA]
B: Belum lagi soal luasan dan batas tanahnya jadi ga jelas kalo asal otomatis aja.
Dan soal pemalakan, yah harus diakui, emang suka ada oknum yg main2
LT: Jakarta Ora Didol
B: Ga dijual kok ngit
‘diemplok’
LT: K** bisa apa nih bt bantu?
L: Jgnkan kp. Pulo, rumah2 or apartemen aja sk cm HGB aja,, without SHM,, juga mgkn perlu dicek lg apa sesuai dg RTRW daerah situ *maaf kl rada ga nyambung Xp
P: (menunjuk keatas) (jempol)

Mendadak aku jadi pengen nulis soal tanah, deh, dari perspektif geografi. Meskipun dulu sempat mental bikin buku profil pertanahan di PPN B******* , kalah dari anak planologi ITB, gak bakal menyurutkan aku buat menulis soal tanah. Tunggu kabar selanjutnya, ya! Lagi diracik! *emang masakan? :p

Kamis, 27 Agustus 2015

Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini ( H. Mahrub Djunaidi )



Tulisan ini saya salin ulang karena saya anti main politik. Hahaha. Entahlah suatu hari akan menjilat ludah sendiri atau enggak. Hidup memang dinamis, bukan?

Kadang saat sudah berumur 23 tahun, harus kembali mengingat-ingat perasaan sewaktu muda dulu, bagaimana pemikiran-pemikiran di benak anak muda, apalagi berbau politik. Kalo bisa dibilang saya dulu sangat apatis. Sangat. Justru tulisan dari H. Mahrub Djunaidi dari buku “Humor Jurnalistik” terbitan 1986 dibawah ini sangat menohok saya (jadi saya....??? WT*!). Karena tulisannya cukup panjang, bacanya dibagi 6 aja ya, waktunya—bisa bagi waktu kan Anda? :p


“Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini”

Apabila seorang anak sudah duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, paling lambat di kelas 6, ajaklah dia ke Kebun Binatang. Begitu menginjak pintu gerbang segera bisikkan di kupingya, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu bukan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia!”

                Mungkin pernyataan ini akan membuatnya heran dan bertanya-tanya. Tak jadi apa. Memang begitulah cikal bakal pertumbuhan pengetahuan, filsafat dan pribadi, diawali dengan pelbagai rupa rasa keheranan dan rasa ingin tahu.

                Agar supaya memudahkan, paling utama berhentilah barang setengah jam di depan kandang monyet. Monyet jenis apa saja pun, jadilah. “Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu, bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah kenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan.”
***
Dari situ mampirlah ke Kantor Pajak. Suruh anak itu berdiri tegak bagaikan batang kerambil, pejamkan mata dan pusatkan perhatian. Bisikkan perlahan tapi pasti, ke lubang kupingnya, “Inilah kantor yang minta-minta ongkos dari hasil keringatmu. Bahkan kamu buang air besar pun ada tarifnya. Dari uang setoranmu yang terkumpul itulah, yang bisa membikin Pemerintah dengan segala peralatannya bernapas, melangkah, bahkan mengaturmu. Jika misalnya jumlah yang terkumpul itu kurang membuatnya leluasa, selebihnya diambil dari jual batu-batuan dan cairan yang berasal dari dala bumimu, tidak terkecuali dari lautmu. Jadi, kamu itu penting dan menentukan. Jangan merasa jadi kecoak! Kamu tidak mau setor? Pemerintah akan jadi gembel dan duduk bersimpuh di perempatan jalan. Akibatnya bisa panjang juga. Ada memang orang bangsa bule di negeri nun jauh di sana, namanya Henry David Thoreau. Entah karena jengkel atau oleh sebab lainnya, orang bule ini berseteru supaya orang-orang jangan bayar pajak. ‘Apa sih pemerintah itu?’ katanya. Kalau ada orang yang setahun sekali muncul di ambang pintu rumahmu dan minta duit pajak, itulah yang namanya Pemerintah. Dia berseteru supaya dilakukan civil disobedience, pembangkangan sosial. Ini hanya contoh lho, jangan kamu tiru. Yang penting kamu mesti tahu bahwa penduduk suatu negeri itu punya harga, bukan seperti kecoak, karena dia memberi nafkah kepada Pemerintah, supaya Pemerintah bisa berdiri di atas dengkulnya, tidak terkulai. Paham kamu?”

***

Sesudah itu tuntunlah si anak melihat-lihat Kantor Pemeritah Daerah. Boleh pilih: Walikota bisa, Bupati bisa, Gubernur pun bisa. Beritahu dia, jadi pejabat Kepala Daerah itu tidak bisa semau-maunya. Ada batas waktu sekian tahun. Lagipula buat apa lama-lama? Penduduk saja bisa bosan. Mereka itu tidak bisa jatuh begitu saja dari langit, melainkan lewat pencalonan yang namanya Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat Daerah.

“Asal kamu tahu saja, yang namanya Menteri Dalam Negeri memang bisa saja mengangkat orang yang kalah dalam pencalonan bahkan di luar calon sama sekali. Tak usah kamu banyak tahun dulu, karena memang begitu aturannya. Lalu, yang banyak kursi seperti gedung bioskop itu apa? Oh, itu namanya Dewan Perwakilan Rakyat, tempat para anggotanya bersidang. Mereka itu memiliki kamu, kalau kamu nanti sudah cukup umur untuk ikut Pemilihan Umum. Itu hakmu dan bukan kewajiban. Teori membedakan mana hak dan mana kewajiban ini penting, sebab banyak orang yang sudah tua bangka suka keblinger.”

Jika si anak bertanya, apa semuanya itu dipilih, cukup bilang “tidak”. Dan jika dia terheran-heran, jawab saja, “Nanti kamu akan tahu sendiri.” Bisa juga terjadi, dia bertanya apa sebab antara Pemerintah dengan Dewan berada dalam satu atap, katakan, “Itu Cuma soal teknis, supaya orang Pemerintah tidak capek mondar-mandir. Lagipula, Dewan Perwakilan itu menurut Undang-Undang yang berlaku, merupakan ‘perangkat’ Pemerintah Daerah.” Cukup penjelasannya sampai situ, kalau panjang-panjang bisa bikin bingung.

Tidak ada salahnya bersiap-siap menghadapi pertanyaan yang menyangkut soal Pemilihan Umum atau siapa saja pesertanya. Berilah jawaban yang sesederhana mungkin, yang mudah mereka tangkap. Bilang saja bahwa Pemilihan umum itu boleh memilih tanda gambar peserta yang mana saja. Ketentuan ini berlaku juga buat pegawai negeri. Anak cerdik mungkin akan mengajukan soal mendadak. “Mengapa organisasi peseta cuma tiga, bukankah konstitusi sebagai induk seluruh undang-undang memperbolehkan kemerdekaan berserikat dan berorganisasi?” (Perlu diketahui tulisan ini dibuat tahun 1981). Menghindarlah dari jawaban, sebijak mungkin, asal jangan kentara menggelapkan sesuatu. Anak-anak sekarang, berkat gizi dan pengamatan lingkungan dengan mata kepala sendiri, jangan sekali-kali dikecoh. Dia akan segera menertawakan kita, seakan-akan kita ini seorang pelawak sirkus yang sudah dia pikir dan hilang dari peredaran.

***

Serentak hari panas dan matahari sudah menggantung diatas ubun-ubun, ajaklah dia pulang dulu dan beristirahat. Antara “mendidik” dan “memaksa” terbentang jarak yang amat lebarnya, ingat itu baik-baik. Kalau—ini kalau, lho—kebetulan lewat Kantor Kelurahan, boleh juga sambil lalu diterangkan ala kadarnya ihwal apa itu Lurah. Bilang kepadanya, bahwa dalam garis besarnya ada dua macam Lurah atau Kepala Desa. “Ada yang ditunjuk begitu saja seperti kita menunjuk jenis permen yang berkenan, dan ada yang lewat pemilihan oleh penduduk. Yang disebut belakangan ini biasanya terjadi di desa. Ada yang lewat pemilihan murni dan ada pula yang lewat pilihan yang ‘dipersiapkan’. Syukur kalau dia tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, apa maksudnya ‘dipersiapkan’. Jika nyinyirnya sudah tidak tertahankan, jawab saja bahwa penjelasannya lain kali, berhubung perut sudah lapar. Perut lapar membuat pikiran jadi buntu.”

Taruhlah ada waktu luang dan cuaca sesuai benar dengan ramalan Direktorat Meteorologi dan Geofisika—persis tidak meleset walaupun cuma setetes air—maka tuntunlah anak itu ke gedung museum, andaikata di kota domisili ada museum dalam makna lumayan. Sekali lagi, itu andaikata! Sebab, pada jaman sekarang ini, pikiran orang sudah terkuras habis untuk membangun hotel, rumah bola sodok, lapangan golf, tempat mandi uap dan panti pijit, serta diskotik, sehingga nyaris tak ada sisa buat membangun museum. Karena itu jika di kota domisili ada gedung museum, tidak ada aibnya bertepuk tangan sambil melompat-lompat.

Begitu kaki menginjak gerbang, katakanlah kepadanya bahwa dia bukanlah makhluk yang mem-brojol begitu saja dari lubang batu, melainkan merupakan mata rantai dari rentetan sejarah panjang ke belakang dan jauh terentang ke depan entah diaman batasnya. Setolol-tolol orang adalah mereka yang tak tahu apa itu sejarah, dan sehina-hina orang adalah mereka yang memalsukan sejarah, mengerikitnya seperti tabiat busuk makhluk tikus. Perbuatan macam itu selain akan jadi bahan tertawaan, juga sia-sia saja. Sang sejarah sendiri yang perkasa, akan menjatuhkan batu besar ke kepala hingga luluh lantak jadi bubur.

“Kamu punya buku pelajaran sejarah wajib di sekolah, bukan? Ketahuilah olehmu, setiap yang namanya ilmu itu—tidak terkecuali sejarah—harus siap dan rela diuji serta dipertanyakan benar atau tidaknya. Jangan kamu telan begitu saja seperti sebutir kacang. Ragu-ragu itu suatu langkah yang mesti ditempuh, jika kita mau sampai ke keyakinan yang tak tergoncangkan. Barangkali gurumu akan tampak gusar jika kau kelewat sering mengajukan pertanyaan yang kurang biasa—percayalah—gusarnya itu Cuma gusar formal belaka, sebagaimana pantasnya ditunjukkan oleh seorang pegawai negeri. Belum tentu sampai di hati. Bisa jadi dengan diam-diam, dia membenarkanmu, mudah-mudahan. Hati bercabang, rohani retak, sikap ganda; sedang menjadi musim, seperti halnya musim rambutan. Pendapat hati dan pendapat perut punya gardu masing-masing.”

***

Sekali tancap, dari museum langsung mampir ke rumah gadai. Berbeda dengan museum, rumah gadai terdapat di setiap kota, bahkan satu kota sering punya lebih dari rumah gadai. Mengapa tidak memperlihatkan bank? Rumah gadai lebih mudah dijangkau, bisa dilihat dengan mata telanjang, tidak terlalu banyak menyimpan rahasia yang sukar ditembus. Tapi yang penting, rumah gadai itulah pencerminan sejati lapisan terbesar penduduk kita, yaitu rakyat kecil, yang pada suatu pagi—begitu bangun tidur—tahulah dia bahwa tidak ada uang sepeser pun di kantong.

Pergi ke bank? Peraturan bank yang begitu ruwet akan menambang pening kepalanya dua kali lipat. Maka pergilah dia ke rumah gadai membawa barang jaminan yang melekat di badan. Bisa berupa kain batik, atau liontin peninggalan nenek moyangnya. Berjuaya penduduk setia berhubungan dengan rumah gadai, bukannya bank, karena itu arahkanlah pandangannya ke bawah, bukan ke langit. Jangan ke mobil sedan, melainkan ke bus metromini yang para penumpangnya senantiasa berdesak-desakan sambil ber-“olahraga leher”, terbungkuk-bungkuk karena terpaksa.

“Bapakmu punya mobil yang dibeli dari hasil gaji dan keringatnya sendiri? Betul? Tapi yang seperti Bapakmu itu bisa dihitung dengan jari kaki. Menegertikah kamu apa yang disebut ‘sistem’? Mungkin masih samar-samar, tak apa. Nah, jika sistem ekonomi salah, maka buntutnya bisa panjang. Misalnya, yang mestinya bukan pedagang malah berdagang. Yang mestinya pedagang malah tidak bisa dagang. Yang mestinya sekolah malahan main di comberan. Semua itu akibat sistem yang salah.

Pernah mendengar tentang hak asasi? Tentu pernah, walau mungkin hanya samar-samar. Itu penting kamu ingat-ingat mulai sekarang, karena hak asasi itu merupakan harta bendamu yang paling berharga. Jauh lebih berharga daripada rumahmu, sepedamu, sepatu roda dan bola tendangmu, digabung menjadi satu. Sekarang barangkali belum begitu terasa arti pentingnya, tapi kalau sudah dewasa kelak, dia akan merupakan suatu taruhan. Bisa membuatmu jadi seperti seekor cacing.

Supaya lebih jelas, dengarkan baik-baik. Kamu punya hak asasi untuk mengeluarkan pendapat, punya hak asasi berkumpul dengan sarjana orang yang sepaham, punya hak asasi apakah kamu mau berjongkok, atau menungging, sepanjang tidak membawa malapetaka bagi tetangga.

Mulai sekarang harus kautanamkan ke kepalamu bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi. Bisakah kamu enak tidur tanpa melahap nasi sepiring pun? Tak seorang pun, sekali lagi tak seorang pun, yang diperbolehkan merampas hak itu dari dirimu. Begitu hakmu itu terampas, kamu bukan lagi manusia, melainkan semacam segumpal asap.”

***

“Besar kemungkinan, bapakmu di rumah suka menyebut-nyebut istilah yang namanya ‘warisan’. Jika yang dimaksud ‘warisan’ itu beruapa benda, entah rumah, entah truk, entah kebun kelapa sawit, atau mungkin berupa utang yang mestinya dibayar oleh bapakmu, itu bukan urusan. Itu memang ada hubungannya dengan hakmu, hak ibumu, hak kakak serta adikmu. Tidak ada orang yang perlu mencampuri, karena aturan-aturannya sudah tersedia. Tapi kalau bapakmu—siapatahu—menyebut-nyebut tentang ‘warisan nilai-nilai’, maka ini soalnya sedikit lain.

Seperti halnya uang logam ratusan, nilai itu punya dua sisi yang berbeda satu sama lain. Ada nilai yang bagus, tapi ada juga nilai yang jelek. Sejak sekarang kamu mesti melatih diri untuk memisah-misahkan, mana nilai baik dan mana nilai yang buruk, culas, serakah, serigala, ular kobra, maupun kucing garong. Bilang kepada dirimu sendiri serta juga kepada bapakmu, bahwa kamu cuma punya bakat mewarisi nilai-nilai baik dan alergi terhadap nilai-nilai kaleng gombreng. Jika bapakmu itu pikirannya waras, dia akan bersenang hati serta merasa bangga, dan langsung mencium jidatmu. 

Bapakmu berlangganan koran? Aneka macam koran? Itu bagus. Masa bodohlah apa koran itu dibelinya atas pilihan sendiri atau langganan wajib lewat kantornya, pokoknya koran. Biasakanlah banyak membaca, termasuk membaca surat kabar ini. Kamu harus berusaha agar kesenanganmu membaca koran sama dengan kesenanganmu makan rujak. Tapi, membaca surat kabar pun jangan asal membaca. Langkah apapun yan serampangan, tidak bagus. Pakailah daya menimbangmu semaksimal mungkin. Jangan sala suap dan asal telan, nanti ketulangan.”
Kompas, 10 Maret 1981

***

Rabu, 26 Agustus 2015

Tentang gue

Ehem, judulnya agak egois ga sih? Tentang gue. Ya, gue gak terlalu mengenal diri gue sendiri, bahkan sahabat-sahabat gue menganggap gue unik, dan gue masih bertanya-tanya hingga gue menonton film bareng salah satu sobat kuliah gue di Penvil abis wawancara *ga penting banget sih gue ceritain sedetail ini..hehe*. Judul filmnya INSIDE OUT.

Mari gw spoiler kan. *evil*
Baiklah karena gue ga mau jadi super evil, gue cuma bikin 3 kalimat aja. Intinya, setiap anak itu diberkati apa yang namanya perasaan baik senang, sedih, marah, jijik, takut (yang disorot ditokoh utama ini)--masing-masing punya karakternya kalo mengalami suatu kejadian, akan memberikan respon seperti apa. Disitulah ceritanya dimulai, yakni seorang anak perempuan dan karakter perasaannya di dalam otaknya yang ditokohkan dengan amat sangat lucu! Ayoo nonton!! HAHAHA --> spoiler ga niat.

Setelah itu, gue merasakan bahwa apa yang gue alami selama ini sama sekali jarang ngerasain yang namanya warna-warni perasaan semacam itu. Kenapa? Inilah yang mau gue cari di Tentang Gue.

Dulu, pas TK sampai SD, gue seneng banget berinteraksi--bercanda maksud gue--sama pembantu gue. Namanya Mbak War (artinya perang. Percaya? Canda doang gue...wkwkwk). Saking bercandanya gue ketawa gak ada abis-abisnya kalo sama dia. #emosi senang# long time ago.

Dan gue mendadak ditinggalin gitu aja tanpa dikabari. Ternyata gue baru tau kalo dia berobat ke kampungnya di Wonogiri. Belakangan gue tau kalo Wonogiri itu *klo ga salah* kampungnya Pak Harto. Gak nyambung sih. Skip. Haha. Disitu karena gak dikabarin gue jadi kehilangan rasa gitu jadinya demam sedih#.

Mana waktu di SD gue anak yang pendiem, soalnya takut-takut gitu berinteraksi sama yang lain. #emosi takut# Takut yang gak bisa gue jelaskan, ya gue takut aja. Untungnya gue pas SD pinter, jadi banyak yang deketin gue..hahaha (dasar). Tapi beberapa anak aja sih... meskipun gitu gue gak pernah ngasih contekan sampai jamannya kuliah.

Jadi gue benci sama yang namanya ditinggalin sejak kejadian Mbak War itu kayaknya. Karena gue takut ditinggalin, jadinya gue takut juga memulai hubungan (berteman), karena abis berteman pasti ada yang namanya ditinggalin (berpisah). Itu bikin sedih.

Namun pas SD, gue punya 2 sahabat, namanya Theresia dan Sasa. (Miss u so much, where are you guys? I hope u r happy now. We're lost contact). Pas SMP gue ketemu sama Theres di LIA gitu, gue nya malu-malu ngehindar...hahahah bego banget ya! Abisnya udah kehapus sebagian ingatan kebersamaan gitu. Kalo sekarang diinget-inget lagi ternyata banyak kenangan...hikshiks. Kalo sama Sasa, gue ketemu lagi pas SMA di mall cinere gitu. Dia gaol banget, hahaha.. emang dulu udah gaol juga sih dia :D bangga punya temen anak gaul. Kalo gue sih 1/2 gaul kata temen SMP gue. Hahahaha *bodo amat. Yang penting eksis pas SMA.










Oh, ya, dulu pas SMA gue dapet 3 nominasi.. dan (sialannnya) dapet "termisterius", apa, sama apa gitu.. *lupa, sorii yaa...hahaha. Jadi gue termisterius itu sebabnya karena gue orangnya ga terlalu ngebuka diri pas SMA dulu, meskipun gue punya sahabat-sahabat dan temen-temen yang baik sama gue. Gue dibilang unik, sama Erita juga karena gue punya pemikiran sendiri. Kalo sekarang sih, abis kuliah, rasanya jungkir-balik, pusing nyari kerjaan...hahahah (doain ya ketrima di WS).

Ohya, balik lagi ke topik. Tentang Gue itu, maksudnya tentang emosi gue yang sempet hilang bertahun-tahun.
Jadi orang lain kalo biasanya sedih, seneng, jijik, marah, gitu-gitu, gue biasa aja. Gak ada emosi. Lucu kan? Pas dulu SMA kelas 1 masanya anak-anak sangar--cowo Gazper ngebentak anak-anak X5 (kelas gue) yang cewek-cewek turun ke lapangan, temen gue ada yang nangis, gue biasa aja. (Mungkin karena faktor X , pas SMP sempet ada masalah rumah tangga di rumah...hehe, jadi sering dimarahin ceritanya--udah biasa).

Nostalgia ke masa SMP, gue sering sedih dulu. Kecuali pas di LIA, gue dapet temen yang sama-sama gilanya. Namanya Rani. Kalo sama dia, gue bisa ketawa lepas sama kayak ke Mbak War. Sama-sama suka ketawa brisik, dan ngakak..hahahah

Pas kuliah gue ketemu temen yang bisa asik juga, adek kelas anak sastra Indo, pas ada kerjaan di fasilkom ketemu, gatau ga bisa berhenti ngakak...dan bercanda. Hahaha. Lucu deh!

Pas kuliah di geo gue pasang tampang beku, di luar gue cair kayak es krim. Aneh kan? Gue sering kayak gitu. Jadi biasaya gue lebih supel ke temen di tetangga jauh daripada di kelas sendiri. Misalnya pas gue di kelas X5, gue sering mainnya malah ke X3. Emang ga selalu sih, tapi sering...hehehe

Gue kangen masa SMA, sama masa kuliah gue deh. Bener dulu kata Pak Edi pas SD mau perpisahan, nanti kalau ketemu lagi udah pada cantik-cantik, ganteng-ganteng...hehehe.

Emosi gue kayaknya mesti diasah lagi abis nonton INSIDE OUT. Gue dulu belajar jadi orang yang menahan emosi sih. Teman-teman, jangan ngelakuin kayak gue ya, nanti bisa berakibat fatal kayak kalo pake rokok---nagih, terus ga bisa balik deh! Tapi ini gue masih taraf standar, bisalah buat balik...hihi

Thank a lot udah baca-baca tulisan aneh bin ajaib ini! :)






Powered by mp3skull.com