Jumat, 7 Mei 2021 15:41 WIB dalam commuter line menuju Jakarta
Dalam hitungan bulan sudah aku ada di Kementerian. Sudah 2 tahun lebih juga aku berada dalam ranah birokrasi pemerintahan. Dan kini, aku masuk sebagai peneliti dalam tubuh pemerintahan.
Semakin aku mengenal, banyak aku temui dalam diriku kekecewaan. Semestinya aku menemukan kebahagiaan meneliti, tetapi sontak saja bermain dengan data yang rumit, hatiku ketar-ketir entah bisa atau tidak menyelesaikannya.
Hari ini pelatihan kedua olah data sentinel 1 dengan Google Earth Engine. Sebenarnya rekan-rekanku menyenangkan. Namun aku sendirilah yang menjadi musuh diriku sendiri. Dengan cap/embel-embel aku tak suka kesulitan olah data, akhirnya, memang benar adanya berkali-kali aku mengedit-edit data sampai kepalaku pusing tujuh keliling. Dan disinilah aku, belum solat ashar, langsung pulang TENGGO dari kantor.
Teringat pembicaraan dengan sahabatku tentang passion disela-sela waktu mengolah data tadi, kudapat kesimpulan bahwa kita tidak bisa tidak realistis, karena kita perlu uang untuk makan, berkumpul dengan teman-teman, dan hari tua. Kupikir dia passion dengan pekerjaannya: mengajar Mandarin anak-anak. Ternyata, itu diluar passionnya.
Aku menengadah langit-langit kereta, seolah memandang menembus cakrawala, mengintari takdirku kini. Kesalaham kusadari saat memilih SMA. Dimana yang kuinginkan bukan jurusan IPA, tetapi sastra yang tidak ada di SMA ku dulu. Lantas, sepak terjangku pada dunia riset, mulai dari KIR, hingga ikut PKM Penelitian di masa kuliah beberapa kali, bahkan menjadi panitia inti olimpiade ilmiah PKM Penelitian. Bertanya-tanya, apakah aku salah jalur?
Aku mencintai lingkungan. Sedari kecil, aku memaknai kemacetan dan banjir di Jakarta. Bahkan aku memiliki ide mengirimkan surat pada presiden untuk cara membersihkan selokan agar tidak menampung sampah yang seringkali terangkut oleh aliran. Sederhana saja, hanya dengan jaring.
Aku teringat pula, pada masa kuliah. Mengapa tidak membuat pemetaan selokan-selokan? Untuk menyusuri hingga membuat selokan dan sungai kita bersih. Kenyataannya, semakin kusadari, hal itu saja tidak akan membuat sungai benar-benar bersih. Dari hulu sudah banyak pihak yang suka membuat sampah ke sungai, termasuk pula limbah.
Menerawang kembali, aku ini mencintai lingkungan. Dan juga sastra. Nilai-nilaiku dulu hampir semua bagus di masa sekolah. Mungkinkah sebenarnya Tuhan merencanakan hal diluar orang biasa? Mungkin membuat film bertemakan lingkungan, atau cerita-cerita lingkungan pertanian yang berdampak sangat besar (setidaknya kesadaran) pada masyarakat hingga mencapai 100 persen?
Kampanye lingkungan yang kulihat kurang berdampak. Namun era kini orang suka video, YouTube, film pun masih disukai. Ada celah untuk sosialisasi sebenarnya dari industri kreatif dalam rangka pro-lingkungan.
Bagaimana kalau aku mencoba menekuni hal itu? Sembari tidak melepaskan pekerjaanku sebagai peneliti di Kementerian--meskipun tidak terlalu memberikan nilai tambah buatku. Atau berfokus saja pada lingkungan kita yang semakin hari semakin rusak. Sayangnya, kita tanpa "wewenang" bisa berbuat apa?