Tulisan ini saya salin ulang
karena saya anti main politik. Hahaha. Entahlah suatu hari akan menjilat ludah
sendiri atau enggak. Hidup memang dinamis, bukan?
Kadang saat sudah berumur 23
tahun, harus kembali mengingat-ingat perasaan sewaktu muda dulu, bagaimana
pemikiran-pemikiran di benak anak muda, apalagi berbau politik. Kalo bisa
dibilang saya dulu sangat apatis. Sangat. Justru tulisan dari H. Mahrub
Djunaidi dari buku “Humor Jurnalistik” terbitan 1986 dibawah ini sangat menohok
saya (jadi saya....??? WT*!). Karena tulisannya cukup panjang, bacanya dibagi 6
aja ya, waktunya—bisa bagi waktu kan Anda? :p
“Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini”
Apabila seorang anak sudah duduk
di kelas 5 Sekolah Dasar, paling lambat di kelas 6, ajaklah dia ke Kebun Binatang.
Begitu menginjak pintu gerbang segera bisikkan di kupingya, “Kamu tidak mau
dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu bukan? Nah, jadilah
kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik
itu namanya manusia!”
Mungkin
pernyataan ini akan membuatnya heran dan bertanya-tanya. Tak jadi apa. Memang
begitulah cikal bakal pertumbuhan pengetahuan, filsafat dan pribadi, diawali
dengan pelbagai rupa rasa keheranan dan rasa ingin tahu.
Agar
supaya memudahkan, paling utama berhentilah barang setengah jam di depan
kandang monyet. Monyet jenis apa saja pun, jadilah. “Kamu lihat monyet yang
paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet
lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu, bisa
disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling
pintar. Tapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa,
paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan
takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah kenal
sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan.”
***
Dari situ
mampirlah ke Kantor Pajak. Suruh anak itu berdiri tegak bagaikan batang
kerambil, pejamkan mata dan pusatkan perhatian. Bisikkan perlahan tapi pasti,
ke lubang kupingnya, “Inilah kantor yang minta-minta ongkos dari hasil
keringatmu. Bahkan kamu buang air besar pun ada tarifnya. Dari uang setoranmu
yang terkumpul itulah, yang bisa membikin Pemerintah dengan segala peralatannya
bernapas, melangkah, bahkan mengaturmu. Jika misalnya jumlah yang terkumpul itu
kurang membuatnya leluasa, selebihnya diambil dari jual batu-batuan dan cairan
yang berasal dari dala bumimu, tidak terkecuali dari lautmu. Jadi, kamu itu
penting dan menentukan. Jangan merasa jadi kecoak! Kamu tidak mau setor?
Pemerintah akan jadi gembel dan duduk bersimpuh di perempatan jalan. Akibatnya
bisa panjang juga. Ada memang orang bangsa bule di negeri nun jauh di sana,
namanya Henry David Thoreau. Entah karena jengkel atau oleh sebab lainnya,
orang bule ini berseteru supaya orang-orang jangan bayar pajak. ‘Apa sih
pemerintah itu?’ katanya. Kalau ada orang yang setahun sekali muncul di ambang
pintu rumahmu dan minta duit pajak, itulah yang namanya Pemerintah. Dia
berseteru supaya dilakukan civil disobedience, pembangkangan sosial. Ini
hanya contoh lho, jangan kamu tiru. Yang penting kamu mesti tahu bahwa penduduk
suatu negeri itu punya harga, bukan seperti kecoak, karena dia memberi nafkah
kepada Pemerintah, supaya Pemerintah bisa berdiri di atas dengkulnya, tidak
terkulai. Paham kamu?”
***
Sesudah itu
tuntunlah si anak melihat-lihat Kantor Pemeritah Daerah. Boleh pilih: Walikota
bisa, Bupati bisa, Gubernur pun bisa. Beritahu dia, jadi pejabat Kepala Daerah
itu tidak bisa semau-maunya. Ada batas waktu sekian tahun. Lagipula buat apa
lama-lama? Penduduk saja bisa bosan. Mereka itu tidak bisa jatuh begitu saja
dari langit, melainkan lewat pencalonan yang namanya Dewan Perwakilan Rakyat
Tingkat Daerah.
“Asal kamu
tahu saja, yang namanya Menteri Dalam Negeri memang bisa saja mengangkat orang
yang kalah dalam pencalonan bahkan di luar calon sama sekali. Tak usah kamu
banyak tahun dulu, karena memang begitu aturannya. Lalu, yang banyak kursi
seperti gedung bioskop itu apa? Oh, itu namanya Dewan Perwakilan Rakyat, tempat
para anggotanya bersidang. Mereka itu memiliki kamu, kalau kamu nanti sudah
cukup umur untuk ikut Pemilihan Umum. Itu hakmu dan bukan kewajiban. Teori
membedakan mana hak dan mana kewajiban ini penting, sebab banyak orang yang
sudah tua bangka suka keblinger.”
Jika si anak
bertanya, apa semuanya itu dipilih, cukup bilang “tidak”. Dan jika dia
terheran-heran, jawab saja, “Nanti kamu akan tahu sendiri.” Bisa juga terjadi,
dia bertanya apa sebab antara Pemerintah dengan Dewan berada dalam satu atap,
katakan, “Itu Cuma soal teknis, supaya orang Pemerintah tidak capek
mondar-mandir. Lagipula, Dewan Perwakilan itu menurut Undang-Undang yang
berlaku, merupakan ‘perangkat’ Pemerintah Daerah.” Cukup penjelasannya sampai
situ, kalau panjang-panjang bisa bikin bingung.
Tidak ada
salahnya bersiap-siap menghadapi pertanyaan yang menyangkut soal Pemilihan Umum
atau siapa saja pesertanya. Berilah jawaban yang sesederhana mungkin, yang
mudah mereka tangkap. Bilang saja bahwa Pemilihan umum itu boleh memilih tanda
gambar peserta yang mana saja. Ketentuan ini berlaku juga buat pegawai negeri.
Anak cerdik mungkin akan mengajukan soal mendadak. “Mengapa organisasi peseta
cuma tiga, bukankah konstitusi sebagai induk seluruh undang-undang
memperbolehkan kemerdekaan berserikat dan berorganisasi?” (Perlu diketahui
tulisan ini dibuat tahun 1981). Menghindarlah dari jawaban, sebijak mungkin,
asal jangan kentara menggelapkan sesuatu. Anak-anak sekarang, berkat gizi dan
pengamatan lingkungan dengan mata kepala sendiri, jangan sekali-kali dikecoh.
Dia akan segera menertawakan kita, seakan-akan kita ini seorang pelawak sirkus
yang sudah dia pikir dan hilang dari peredaran.
***
Serentak hari
panas dan matahari sudah menggantung diatas ubun-ubun, ajaklah dia pulang dulu
dan beristirahat. Antara “mendidik” dan “memaksa” terbentang jarak yang amat
lebarnya, ingat itu baik-baik. Kalau—ini kalau, lho—kebetulan lewat Kantor
Kelurahan, boleh juga sambil lalu diterangkan ala kadarnya ihwal apa itu Lurah.
Bilang kepadanya, bahwa dalam garis besarnya ada dua macam Lurah atau Kepala
Desa. “Ada yang ditunjuk begitu saja seperti kita menunjuk jenis permen yang
berkenan, dan ada yang lewat pemilihan oleh penduduk. Yang disebut belakangan
ini biasanya terjadi di desa. Ada yang lewat pemilihan murni dan ada pula yang
lewat pilihan yang ‘dipersiapkan’. Syukur kalau dia tidak memerlukan penjelasan
lebih lanjut, apa maksudnya ‘dipersiapkan’. Jika nyinyirnya sudah tidak
tertahankan, jawab saja bahwa penjelasannya lain kali, berhubung perut sudah
lapar. Perut lapar membuat pikiran jadi buntu.”
Taruhlah ada
waktu luang dan cuaca sesuai benar dengan ramalan Direktorat Meteorologi dan
Geofisika—persis tidak meleset walaupun cuma setetes air—maka tuntunlah anak
itu ke gedung museum, andaikata di kota domisili ada museum dalam makna
lumayan. Sekali lagi, itu andaikata! Sebab, pada jaman sekarang ini, pikiran
orang sudah terkuras habis untuk membangun hotel, rumah bola sodok, lapangan
golf, tempat mandi uap dan panti pijit, serta diskotik, sehingga nyaris tak ada
sisa buat membangun museum. Karena itu jika di kota domisili ada gedung museum,
tidak ada aibnya bertepuk tangan sambil melompat-lompat.
Begitu kaki
menginjak gerbang, katakanlah kepadanya bahwa dia bukanlah makhluk yang
mem-brojol begitu saja dari lubang batu, melainkan merupakan mata rantai dari
rentetan sejarah panjang ke belakang dan jauh terentang ke depan entah diaman
batasnya. Setolol-tolol orang adalah mereka yang tak tahu apa itu sejarah, dan
sehina-hina orang adalah mereka yang memalsukan sejarah, mengerikitnya seperti
tabiat busuk makhluk tikus. Perbuatan macam itu selain akan jadi bahan
tertawaan, juga sia-sia saja. Sang sejarah sendiri yang perkasa, akan menjatuhkan
batu besar ke kepala hingga luluh lantak jadi bubur.
“Kamu punya
buku pelajaran sejarah wajib di sekolah, bukan? Ketahuilah olehmu, setiap yang
namanya ilmu itu—tidak terkecuali sejarah—harus siap dan rela diuji serta
dipertanyakan benar atau tidaknya. Jangan kamu telan begitu saja seperti
sebutir kacang. Ragu-ragu itu suatu langkah yang mesti ditempuh, jika kita mau
sampai ke keyakinan yang tak tergoncangkan. Barangkali gurumu akan tampak gusar
jika kau kelewat sering mengajukan pertanyaan yang kurang
biasa—percayalah—gusarnya itu Cuma gusar formal belaka, sebagaimana pantasnya
ditunjukkan oleh seorang pegawai negeri. Belum tentu sampai di hati. Bisa jadi
dengan diam-diam, dia membenarkanmu, mudah-mudahan. Hati bercabang, rohani
retak, sikap ganda; sedang menjadi musim, seperti halnya musim rambutan.
Pendapat hati dan pendapat perut punya gardu masing-masing.”
***
Sekali tancap,
dari museum langsung mampir ke rumah gadai. Berbeda dengan museum, rumah gadai
terdapat di setiap kota, bahkan satu kota sering punya lebih dari rumah gadai.
Mengapa tidak memperlihatkan bank? Rumah gadai lebih mudah dijangkau, bisa
dilihat dengan mata telanjang, tidak terlalu banyak menyimpan rahasia yang
sukar ditembus. Tapi yang penting, rumah gadai itulah pencerminan sejati
lapisan terbesar penduduk kita, yaitu rakyat kecil, yang pada suatu pagi—begitu
bangun tidur—tahulah dia bahwa tidak ada uang sepeser pun di kantong.
Pergi ke bank?
Peraturan bank yang begitu ruwet akan menambang pening kepalanya dua kali
lipat. Maka pergilah dia ke rumah gadai membawa barang jaminan yang melekat di
badan. Bisa berupa kain batik, atau liontin peninggalan nenek moyangnya.
Berjuaya penduduk setia berhubungan dengan rumah gadai, bukannya bank, karena
itu arahkanlah pandangannya ke bawah, bukan ke langit. Jangan ke mobil sedan,
melainkan ke bus metromini yang para penumpangnya senantiasa berdesak-desakan
sambil ber-“olahraga leher”, terbungkuk-bungkuk karena terpaksa.
“Bapakmu punya
mobil yang dibeli dari hasil gaji dan keringatnya sendiri? Betul? Tapi yang
seperti Bapakmu itu bisa dihitung dengan jari kaki. Menegertikah kamu apa yang
disebut ‘sistem’? Mungkin masih samar-samar, tak apa. Nah, jika sistem ekonomi
salah, maka buntutnya bisa panjang. Misalnya, yang mestinya bukan pedagang
malah berdagang. Yang mestinya pedagang malah tidak bisa dagang. Yang mestinya
sekolah malahan main di comberan. Semua itu akibat sistem yang salah.
Pernah
mendengar tentang hak asasi? Tentu pernah, walau mungkin hanya samar-samar. Itu
penting kamu ingat-ingat mulai sekarang, karena hak asasi itu merupakan harta
bendamu yang paling berharga. Jauh lebih berharga daripada rumahmu, sepedamu,
sepatu roda dan bola tendangmu, digabung menjadi satu. Sekarang barangkali
belum begitu terasa arti pentingnya, tapi kalau sudah dewasa kelak, dia akan
merupakan suatu taruhan. Bisa membuatmu jadi seperti seekor cacing.
Supaya lebih
jelas, dengarkan baik-baik. Kamu punya hak asasi untuk mengeluarkan pendapat,
punya hak asasi berkumpul dengan sarjana orang yang sepaham, punya hak asasi
apakah kamu mau berjongkok, atau menungging, sepanjang tidak membawa malapetaka
bagi tetangga.
Mulai sekarang
harus kautanamkan ke kepalamu bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan
sepiring nasi. Bisakah kamu enak tidur tanpa melahap nasi sepiring pun? Tak
seorang pun, sekali lagi tak seorang pun, yang diperbolehkan merampas hak itu
dari dirimu. Begitu hakmu itu terampas, kamu bukan lagi manusia, melainkan
semacam segumpal asap.”
***
“Besar
kemungkinan, bapakmu di rumah suka menyebut-nyebut istilah yang namanya
‘warisan’. Jika yang dimaksud ‘warisan’ itu beruapa benda, entah rumah, entah
truk, entah kebun kelapa sawit, atau mungkin berupa utang yang mestinya dibayar
oleh bapakmu, itu bukan urusan. Itu memang ada hubungannya dengan hakmu, hak
ibumu, hak kakak serta adikmu. Tidak ada orang yang perlu mencampuri, karena
aturan-aturannya sudah tersedia. Tapi kalau bapakmu—siapatahu—menyebut-nyebut
tentang ‘warisan nilai-nilai’, maka ini soalnya sedikit lain.
Seperti halnya
uang logam ratusan, nilai itu punya dua sisi yang berbeda satu sama lain. Ada
nilai yang bagus, tapi ada juga nilai yang jelek. Sejak sekarang kamu mesti
melatih diri untuk memisah-misahkan, mana nilai baik dan mana nilai yang buruk,
culas, serakah, serigala, ular kobra, maupun kucing garong. Bilang kepada
dirimu sendiri serta juga kepada bapakmu, bahwa kamu cuma punya bakat mewarisi
nilai-nilai baik dan alergi terhadap nilai-nilai kaleng gombreng. Jika bapakmu
itu pikirannya waras, dia akan bersenang hati serta merasa bangga, dan langsung
mencium jidatmu.
Bapakmu
berlangganan koran? Aneka macam koran? Itu bagus. Masa bodohlah apa koran itu
dibelinya atas pilihan sendiri atau langganan wajib lewat kantornya, pokoknya
koran. Biasakanlah banyak membaca, termasuk membaca surat kabar ini. Kamu harus
berusaha agar kesenanganmu membaca koran sama dengan kesenanganmu makan rujak.
Tapi, membaca surat kabar pun jangan asal membaca. Langkah apapun yan
serampangan, tidak bagus. Pakailah daya menimbangmu semaksimal mungkin. Jangan
sala suap dan asal telan, nanti ketulangan.”
Kompas,
10 Maret 1981
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
merci beaucoup~ :) your opinion's so valuable for me