Tengah hari itu aku nekat pulang ke kampung halaman. Aku
nekat, mencari tahu latar belakang calon istriku, dan mengapa ibu bapaknya, mau
melepaskan anaknya kepada laki-laki seperti aku. Cuma, aku tidak tahu bagaimana
cara untuk mencari tahu. Selama di dalam bus, aku beruntung duduk di sebelah
seorang laki-laki yang ramah.
Kepada laki-laki itu aku bertanya, “Bagaimana cara cari tahu
latar belakang calon istri kita?”
“Mudah kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari saja
nama lengkapnya di internet. Nanti ada lah informasi tentang dia. Kalau susah,
pergi tempat kerjanya, tanya kawan-kawannya, atau tanya saudara-saudaranya.”
Untuk mencari tahu tentang calonku itu di internet, nama
lengkapya saja aku tidak tahu. Aku cuma diberitahu, namanya Sarimah. Berapa
banyak orang punya nama Sarimah di internet? Banyak! Lalu aku ambil nasihat
kedua dari laki-laki itu, tanya rekan-rekan sekerjanya, dan mujur aku tahu
gadis itu bekerja di kantor Bappenas.
Sampai di kampung, aku pinjam motor ayah, lalu pergi ke
kantor Bappenas. Aku tidak tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu,
pasti banyak orang yang namanya sama. Tetapi agak tidak logis juga kalau aku
langsung masuk ke kantor dan bertanya tentang calon istriku. Lalu akhirnya aku
ambil keputusan menunggu dan memperhatikan di seberang jalan.
Aku pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan
kawan-kawannya akan keluar, dan apabila sudah ingat wajah kawan-kawannya,
setelah pulang nanti boleh lah saya tanya tentang Sarimah. Itulah rencanaku,
rencana yang diatur dengan baik. Lalu aku pun duduk di atas motor menghadap
kantor Bappenas yang cuma satu beberapa meter di depanku.
Kemudian datang pula rasa menyesal, sebab pada jam 11 pagi,
cuaca sudah terik. Di situ belum ada pohon yang rindang, karena semuanya baru
saja dipangkas dahannya. Sudah panas terik, satpam di luar kantor mulai
memperhatikanku. Bukan Cuma satpam, malah orang yang lalu lalang di situ turut
memperhatikan.
Aku lupa, jam kantor seperti itu, segala perbuatan yang
tidak biasa akan jadi perhatian. Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan
perkara biasa. Nampak terlalu aneh.
Akhirnya, aku semakin menyesal karena dari jauh aku lihat
seorang perempuan keluar dari kantor. Semakin dekat perempuan itu, semakin aku
berdebar. Wajahnya semakin jelas, dengan kerudung kuning muda, dan baju kurung
biru muda. Dia adalah calon istriku, yang Cuma aku kenal namanya. Sarimah.
Hanya itu.
Aku sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian
pergi dari situ. Tetapi semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata,
“Kamu Salman?”
Aku memberikan senyuman yang paling terpaksa pernah aku
buat. Lebih terpaksa daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru
semasa sekolah dahulu.
“Ya, saya. Kok kamu bisa tahu?”
“Kawan di kantor yang beritahu, katanya ada laki-laki di
sebearang jalan. Mereka menggodaku, katanya mungkin aku kenal, dan aku pikir
wajahmu sama dengan foto yang ditunjukkan oleh ibu.”
Satu kantor pun tahun aku menunggu disini?! Duh! Payah betul
caraku mencari informasi ini. Kemudian aku memerhatikan wajah Sarimah, dan
ternyata wajah aslinya jauh lebih cantik daripada wajah di foto. Mungkin karena
itu pass foto. Orangtuanya pun hanya memberikan satu foto. Entahlah, ibu dan
ayahku pun mungkin memberikan pass fotoku. Ketika itu juga aku merasa jantungku
berdebar, karena saat mengambil foto itu, aku baru saja bangun tidur.
Aku perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada
tanda-tanda perempuan mengandung. Saat aku memperhatikan, terasa tangannya
menyilang menutupi perutnya, dan aku malu karena ketahuan memperhatikan
perutnya. Pasti dia sadar kalau aku memperhatikan perutnya, entah apa yang dia
pikirkan sekarang.
Aku rasa, Sarimah ini adalah perempuan yang berani. Berani
untuk keluar berjumpa denganku. Kalau perempuan lain, tentu mereka tidak
berani. Barulah aku sadar, inilah pertemuan pertamaku dengan calon istri aku.
Pertemuan dalam keadaan yang agak aneh.
Selepas pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di
tepi jalan raya, sambil memandang ke arah yang sebenarnya agak aneh untuk
dipandang. Aku memandang ke ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah motor
ayahku.
Aku tahu, ini keadaan yang tidak betul dan aku sebagai
laki-laki perlu menunjukkan contoh yang baik kepada calon istriku. Jadi,
selepas puas berpikir dan memberanikan diri, aku berkata, “Sudah makan?”
“Saya sedang diet.”
Nasib baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana kalau
dia bilang, ayo kita makan, aku akan sangat jahat sekali, karena di dalam
dompetku cuma ada uang dua puluh ribu rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan
kembali sepi.
“Aku mau kembali ke kantor,” kata Sarimah sopan dan
membuatku lega.
“Aku juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak
berlangsung lama.
“Malam ini datanglah ke rumah.”
“Datang ke rumahmu?”
“Iya, makan malam dengan keluargaku.”
Aku terdiam. Berdebar-debar.
“Jemputlah sekalian ayah dan ibumu kalau mereka tidak ada
halangan.”
“Baiklah, selepas maghrib insya Allah aku sampai.”
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa tidak puas hati
dengan diriku. Mengapa aku tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu
itulah aku banyak bertanya dan mencari tahu kenapa dia dan keluarganya memilih
aku.
Cuma malam ini aku merasa sedikit bingung. Alamat rumah
Sarimah, aku bisa tanya ayahku, tapi mungkinkah aku patut bawa ayah dan ibuku
sekaligus? Tidak.. Tidak.... Bukannya aku tidak mau, biasanya kalau ada ibu,
habis semua rahasia anaknya dia ceritakan. Beliau senang sekali menceritakan
rahasia anaknya.
Lagipula aku ada banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan
orangtuanya tahu. Rahasia yang paling aku takuti dibocorkan oleh ibu adalah
hampir setiap bulan aku masih meminta uang kepada ibuku. Memang memalukan,
tetapi untuk pergi seorang diri, aku juga tidak berani.
Akhirnya, aku punya ide paling bagus. Aku melajukan motor
ayah langsung ke rumah kawan lamaku, Rudy. Bukan sekedar kawan lama, tetapi
juga sahabat karib. Aku yakin dia ada di rumah, karena dia juga senasib
denganku, belum ada pekerjaan tetap. Bedanya, dia bertarung hidup di kampung,
dan aku bertarung hidup di kota.
Sesampainya di rumah Rudy, aku lihat Rudy sedang duduk di
tangga sambil bermain gitar. Itulah kemampuan Rudy yang sangat aku cemburui.
Aku tidak pandai bermain gitar, bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi
rupanya kemahiran Rudy yang tidak aku miliki. Rudy pandai menggoda gadis dengan
bermain gitar, dan Rudy sangat berani berhadapan dengan perempuan, tidak
seperti aku. Itulah akibatnya, aku tidak punya keyakinan apabila berhadapan
dengan perempuan.
“Lama banget kau gak muncul,” kata Rudy saat aku duduk di
sebelahnya.
“Masa lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”
“Lama itu.”
Aku diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock terkenal,
'Suci Dalam Debu'. Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya menemaniku malam
ini, tetapi belum ada kata yang bagus.
“Aku dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?”
kata Rudy, dan itu secara tidak langsung memberikanku jalan untuk melaksanakan
rencanaku.
“Ini acara pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang
kerabat perempuan aja.”
“Kerabatmu gimana?”
Aku diam, karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya.
Sebab dengan keuanganku sekarang, hidang mie goreng kepada tamupun aku tidak
mampu.
“Lihat nanti saja lah. Kalau nanti kau sampai ke rumah ku,
kau pergi dulu saja.”
Rudy semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele
pula, 'Someone like you'. Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang dia
mainkan saat ini.
“Dia cantik gak?” Rudy memandang dengan senyuman penuh
berharap.
“Cantik.”
“Gimana bisa kenal dia?” Senyuman Rudy kini semakin tinggi
harapannya. Harapan jenis apa aku tidak tahu. Mungkin harapan untuk melihat aku
bahagia. Walaupun aku merasa seperti Rudy pasti berpikir tidak logis aku
mendapatkan gadis cantik.
“Ayah dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”
“Kau belum pernah ketemu dia?”
“Baru tadi.”
“Memang dia cantik?”
“Memang cantik.”
Rudy kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan
berpikir panjang.
“Apa pekerjaannya?”
“Pegawai di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi
ibuku bilang, dia punya jabatan cukup tinggi.”
“Hmm... Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin
denganmu? Heran.”
Aku menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada
sesuatu yang tidak benar. Dia pandangi wajahku.
Rudy menyambung, “Kau, ganteng juga nggak. Heran-heran.”
Aku tersenyum pahit. Aku akui, aku memang tidak tampan dan
itu pun sebenarnya merisaukanku juga.
“Kau tidak heran?” tanya Rudy.
“Ya heran juga sih.”
“Kau sudah periksa latar belakang perempuan itu?”
Aku pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.
“Malam ini kau ikut aku. Temani aku ke rumah calonku itu.”
“Hah? Buat apa?” Rudy memandang heran.
“Dia ajak aku makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan
ibunya. Nanti itu, baru akan aku cari tahu latar belakangnya.”
“Kau pergi sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.
“Kamu kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kamu temani
aku. Kamu kan berani, mungkin kamu bantu aku kepo juga.”
“Kepo? Kepoin apa?”
“Tanyain lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan
berpengalaman dalam dunia percintaan. Pasti bisa bantu aku.”
Akhirnya, setelah lama aku bujuk, Rudy pun setuju.
***
Malam itu, walaupun aku sudah salin alamat dari ayahku,
tetap saja aku tersesat. Aku sampai selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku
lihat makanan sudah terhidang di atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin
perut Sarimah dan orang tuanya juga sudah lapar.
“Maafkan saya karena terlambat.”
“Gak apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya
ayahku. Mungkin dia adalah ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.
“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa,
kok cepat bener baliknya?” tegur seorang perempuan, yang aku yakin adalah ibu
Sarimah.
“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian
berkata, “Kenalkan ini kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”
Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat
cantik. Tertegun aku dan aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.
“Beruntung kamu,” bisik Rudy.
Selepas makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu
itulah, aku lirik-lirik Rudy supaya mulai menjalankan rencananya.
“Kata Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan
ibu ya. Malah dengan Sarimah pun baru tadi ketemu.” kata Rudy, dan aku mulai
berdebar-debar.
“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya
dalam pass foto yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.
Aku semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pass foto? Ah,
sudah! Matilah aku!
“Tidak sangka, orang aslinya ganteng juga.” sambung ibu
Sarimah.
Aku mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang
memuji aku tampan. Kalaupun ada, pasti ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah
hanya ingin menjaga perasaanku.
“Itulah saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang
mengatur. Gak nyangka, zaman sekarang masih ada ya pernikahan yang diatur oleh
orang tua. Apa rahasianya Pak?” Rudy memang tidak menunggu lama, terus saja dia
bertanya sambil ketawa-ketawa kecil. Jadi, walaupun ini persoalan serius,
tetapi ia nampak seperti bergurau.
“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu
kamu?”
Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan
menggeleng.
Lalu aku bilang, “Sebenarnya saya pun tidak tahu apa-apa.”
“Kamu tidak tanya ayah dan ibumu?”
Pada saat itulah, aku mulai merasa menyesal. Ya, aku tidak
tanya pun kepada ayah dan ibuku mengapa beliau memilih Sarimah. Yang aku tahu,
ibuku cuma tanya, “Mau ibu carikan kamu jodoh?” Aku pun menjawab, “Boleh.”
Tiba-tiba, dua minggu kemudian, aku sudah bertunangan dan dalam satu bulan akan
menikah. Itupun tunangan pakai uang ibuku. Memalukan betul.
“Saya tidak tanya.”
Ayah Sarimah mulai ketawa kecil.
“Begini, saya dan ayah kamu itu memang sudah lama kenal.
Suatu hari, ngobrol-ngobrol di kedai kopi, kami bercerita tentang anak
masing-masing, kemudian bercerita tentang jodoh, dan akhirnya, terus kepada
rancangan mau menjodohkan anak masing-masing. Setelah itu, inilah yang
terjadi,” jelas ayah Sarimah.
“Begitu saja Pak? Mudah sekali ya!” Rudy nampak terkejut,
dan aku pun sebenarnya agak terkejut juga. Ya, mudah sekali ternyata.
Ibu dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.
Ayahnya berkata, “Tidaklah semudah itu. Kami pun mau yang
terbaik untuk anak bungsu kami. Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”
“Jadi Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya
duit?” tanya Rudy, membuat aku geram tetapi dalam saat yang sama merasa sangat
malu. Tiba-tiba aku berdoa supaya tubuhku menjadi kecil, supaya aku bisa
menyembunyikan bukan saja muka, tetapi seluruh tubuhku di balik bantal.
“Tahu,” jawab ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.
“Jadi?” Rudy bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku
rasa, sebenarnya Rudy mau bilang, “Jadi, mengapa masih pilih Salman?” Mungkin
karena tidak sampai hati, dia cuma pakai isyarat tangan saja. Ya, aku tahu
betul sebab sudah lama aku kenal Rudy.
“Itulah yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia
tidak tampan, tidak ada pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta
duit dari ibunya. Tetapi, dari situlah Bapak tahu, Salman ini akan menjadi
suami yang baik.” Ayah Sarimah tidak lagi tersenyum, sebaliknya memandangku
dengan wajah serius. Aku terus menunduk malu. Malunya aku. Rupanya mereka sudah
tahu kalau aku ini masih minta duit selama berbulan-bulan kepada ibuku.
“Jadi?” Rudy sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.
“Ayahnya juga bilang, anaknya sering menelepon kampung,
paling tidak dua kali seminggu. Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap,
kerjanya pun tidak menentu dengan gaji yang kecil, tetapi setiap kali mendapat
gaji, ayahnya memberitahu, dia tidak pernah lupa memberikan sedikit kepada
ibunya. Walaupun cuma dua ratus ribu. Jadi, bayangkan walaupun hampir tiap
bulan dia kekurangan uang, tapi dia masih mau membantu orang tua. Itulah
namanya tanggungjawab!”
Aku tertegun. Aku sebenarnya tidak menyangka ayahku
menceritakan perkara itu juga kepada ayah Sarimah.
“Ooo... Tanggungjawab,” Hanya itu kata Rudy sambil
mengangguk-angguk.
Ayah Sarimah menyambung perkataannya, “Tanggungjawab itu,
bukan saat kita kaya saja. Tanggungjawab itu adalah sesuatu yang kita pegang
disaat kita susah dan disaat kita senang. Lalu, dalam rumahtangga, tidak
selamanya senang. Lebih banyak saat susahnya. Jadi, Bapak akan lega, karena
tahu anak Bapak berada dalam tangan laki-laki yang bertanggungjawab.”
“Betul juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia
tidak pernah lupa shalat dan tidak punya pacar, karena dia takut perempuan,
hehe.” tambah Rudy yang membuat aku tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.
“Shalat itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada
ayahnya, dan pacar pun Bapak tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.
“Susah mau cari orang seperti Bapak di zaman ini. Zaman
sekarang, semua mau menantu kaya,” tambah Rudy lalu terlihat wajahnya tiba-tiba
murung. Mungkin dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri secara tidak
sadar.
“Dulu, waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun
susah. Bapak juga orang susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan
ibu Sarimah itu anak orang kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri Bapak
termasuk yang terbuka. Lalu, kenapa Bapak tidak memberi peluang kepada orang
yang susah, sedangkan Bapak dulu pun diberi peluang. Yang penting, dia susah
bukan karena dia malas, tetapi karena memang belum rezeki. Beda sekali, orang
malas dengan orang yang belum ada rezeki. Kalau susah karena duduk-duduk di
rumah dan tidur berguling-guling, memang Bapak tidak akan terima,” jelas ayah
Sarimah dengan panjang lebar.
Aku berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu
pikiran ayah dan ibu Sarimah. Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai
berkurang. Perlahan-lahan juga, perasaan curigaku kepada Sarimah ikut
berkurang.
“Anak Bapak hebat juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman
sekarang, biasanya semuanya sudah punya pacar,” kata Rudy. Aku tahu, Rudy juga
sedang memasang umpan untuk mengetahui latar belakang Sarimah sekaligus. Aku
kembali berdebar-debar.
“Alhamdulillah. Bapak sangat bersyukur diberi anak seperti
Sarimah. Awalnya, Bapak khawatir juga, tetapi setelah satu minggu, Sarimah
bilang setuju. Cuma Bapak tidak tahu apa yang membuat diadia setuju, mungkin
Salman bisa tanya dia sendiri setelah menikah nanti,” kata ayah Sarimah, lalu
dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama. Tinggal aku dan Sarimah saja yang duduk
diam-diam malu. Sempat aku melirik Sarimah, dan bertanya dalam hati, “Mengapa
kamu mau dengan lelaki seperti aku?'
***
Alhamdulillah. Allah mudahkan usaha kami. Aku sudah sah
menjadi suami Sarimah, dan setelah bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan
maluku kepada Sarimah mulai berkurang. Malah aku mulai memanggilnya, 'sayang'.
Lalu setelah resepsi, aku dan Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan untuk
pertama kalinya.
Dalam hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam aku
bertemu ayah dan ibu Sarimah. Kini pertanyaan dalam hati itu aku nyatakan
dengan lidah, “Sayang, mengapa kamu setuju untuk menikah dengan laki-laki
sepertiku? Laki-laki yang belum tentu masa depannya, dan mungkin juga membuat
dirimu menderita.”
Tidak kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih
panjang dan detil dari pertanyaan dalam hati.
Sarimah yang saat itu sedang duduk malu-malu, memandangku
lalu mencium tanganku, dan berkata, “Ampuni Sarimah bang, ampuni Sarimah.”
Aku mulai berdebar-debar dan tidak enak hati.
“Ampuni apa sayang?”
“Sebab, Sarimah sebenarnya sempat curiga juga dengan Abang.
Sarimah sempat tidak yakin dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong kawan
Sarimah, yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan Abang di kota supaya
mencari tahu latar belakang Abang. Malah, Sarimah juga solat iskhtikarah hanya
karena ragu-ragu kepada Abang.”
Debar jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu
mencari tahu latar belakangku? Malunya aku. Tetapi sekarang dia sudah jadi
istriku, lalu aku angkat kepalanya dan kupandangi matanya.
“Abang ampunkan. Abang pun minta maaf, sebab Abang pun
pernah juga berasa curiga kepadamu.”
Sarimah tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman
seorang perempuan yang bahagia, dan senyuman itu sangat ajaib karena ikut
membuat aku merasa bahagia. Mungkin inilah perasaan bahagia yang datang karena
kita membahagiakan orang lain. Tetapi pertanyaanku tadi masih belum terjawab
sepenuhnya.
“Jadi, apa kata kawanmu?” lanjutku ingin tahu. Aku risau,
takut kawannya membicarakan yang tidak-tidak.
“Katanya, Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun
pinjam punya teman, tapi katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk
mencari kerja, mengirim surat lamaran, dan selalu memeriksa kotak surat
kalau-kalau ada surat lamaran yang dibalas. Maksudnya, Abang ini orang yang
rajin berusaha. Katanya lagi, dia tidak pernah melihat Abang keluar dengan
perempuan. Shalat pun pasti Abang berjamaah.”
Aku mulai tersipu malu. Takut ketahuan kalau aku tersipu,
aku pun bertanya, “Tetapi orang secantik dirimu pasti banyak orang yang
tertarik kan? Pasti banyak yang mau meminang dirimu, dan mungkin pasti juga
yang ada sudah datang ke rumah untuk meminang.”
Sarimah sekali lagi tersenyum.
“Ya, memang banyak laki-laki yang mencoba dekat dengan
Sarimah, tetapi Sarimah sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”
“Mengapa dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.
Sarimah pun bercerita panjang lebar, dan aku baru tahu kalau
kakaknya sudah meninggal. Kakak Sarimah dulu juga seorang perempuan cantik, dan
banyak laki-laki yang meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki pilihan
hatinya sendiri. Laki-laki yang tampan, berpendidikan tinggi, dan bekerja
dengan gaji yang lumayan. Sayangnya, setelah satu tahun menikah, suami kakaknya
mulai berubah karena belum juga mendapatkan anak. Dia mulai pulang terlambat,
dan suka marah-marah.
Bahkan, suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup
mereka menjadi susah, dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak
pulang berhari-hari, apabila pulang, hanya untuk meminta uang, marah-marah dan
memukul istrinya. Kemudian terungkaplah bahwa selama ini suami kakaknya itu
sudah memiliki perempuan lain. Lalu pada hari itu, dengan hati yang kusut,
kakak Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga kecelakaan dan meninggal dunia.
Diakhir ceritanya itu, aku langsung menggenggam tangan Sarimah erat-erat.
“Karena itulah, Sarimah takut kalau mau menerima laki-laki
sembarangan dalam hidup Sarimah. Malahan, Sarimah juga sebenarnya sudah
mengamanahkan ayah dan ibu untuk mencari laki-laki yang sesuai untuk Sarimah.
Biar tidak kaya, biar tidak tampan, tetapi lelaki itu mampu membahagiakan hidup
dengan kasih sayang dan mendamaikan hati dengan agama.”
Akhirnya, semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah
memilih laki-laki sepertiku, dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya.
Genggaman tanganku semakin kuat.
“Abang... Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai
hati Sarimah. Mohon bang,” rayu Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang,
dan kemudian menetes di pipinya yang cantik. Aku segera menyeka air mata
Sarimah.
“Abang bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu
berjanji menjadi suami yang terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang
berusaha menjadi laki-laki yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami yang
terbaik untukmu,” kataku perlahan, dan Sarimah terus memelukku. Aku merasa,
bahuku sudah basah dengan air mata Sarimah.
========================================
"Anakku, hidup di dunia ini hanya mampir sebentar saja.
Kehidupan yang sesungguhnya adalah di akherat kelak. Setiap langkah itu
tergantung pada cita-cita. Apa yang didapatkan adalah hasil dari cita-cita.
Tidak ada cita-cita yang lebih indah selain berjumpa dan menatap wajah Allah.
Jadikan pasangan sebagai ladang ilmu dan amal. Hendaknya kalian bahu membahu
menjadikan Allah sebagai tujuan. Karena Allah adalah tujuan kita."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
merci beaucoup~ :) your opinion's so valuable for me