Oleh: Lady Hafidaty Rahma Kautsar
Sebuah Perjalanan 10 Desember 2015
Langit menangis, pada saat saya hendak menyusuri jalan menuju Perpustakaan UI, tepatnya di ruang Cinema. Hari ini, dengan semangat baja, saya menerjang hujan (dengan nekad membeli payung—yang entah kenapa rejeki banget, di jual persis di depan stasiun Pocin).
Ya, perjalanan saya tidak sia-sia. Saya mendapatkan berbagai pengetahuan dan ilmu di ruang itu siang ini. Serta pertemanan baru dengan junior dari Psikologi UI yang cukup kritis, ekstrovert dan ramah. Lingkungan dan manusia, kemungkinan itulah passion saya. Semenjak masuk di jurusan berhubungan ilmu bumi... merasa tertantang untuk terus mengasah daya ingat, cara pandang dan ketajaman berpikir seorang geografer macam saya. Hingga level tertinggi yang paling mungkin saya capai. With my own way.
Jika melihat judul di atas, bisa ditebak “hutan”. What’s up with the forest? Who care with it? If Not Us, Then Who? Namun, secara logika...
Kalo gue anak kota, hidup di kota, belajar/kerja di kota, gak di hutan, gimana gue jaga hutan coba? Gue kan gak mungkin berperan langsung.. (well, sebenarnya jaga hutan bisa macam-macam bentuknya, misalnya menghemat produk hutan berupa kertas—tapi saya sadari selama masih diproduksi massal kertas sih...ehm, setidaknya penggunaan kertas yang bolak-balik cukup membantu karena jika rantai konsumtif akan mempengaruhi produksi kertas juga).
Terus? Siapa yang bisa berperan LANGSUNG?
Jawabannya di film yang gue tonton ini: MASYARAKAT ADAT.
Well, sebenarnya ada 4 film yang dibahas disini. Secara inti masyarakat adatlah yang memiliki kebutuhan pada hutan secara langsung untuk bertahan hidup, sehingga merekalah tokoh-tokoh sebenarnya yang menjaga hutan.
Berbagai kasus soal masyarakat adat ini, salah satunya ialah tanah. Tanah adat. Dikatakan pada diskusi film bahwa dipetakan wilayah termasuk wilayah masyarakat adat dengan skala 1:250.000.
( Ini tidak sepenuhnya benar, menurut pendapat saya. Peta ada bermacam skalanya, dari skala kecil, menengah dan besar, dibuat tergantung kebutuhan dan permintaan klien. Seharusnya BIG dalam membuat peta memberikan wadah bagi masyarakat setempat yang dipetakan untuk ikut berpartisipasi dalam membuat peta. Masyarakat pun melapor pada BIG berkaitan dengan pemetaan wilayahnya. Misalkan, masyarakat adat membuat peta skala besar untuk wilayahnya, kemudian BIG diberikan data tersebut sebagai referensi saat membuat peta baik skala besar, menengah maupun kecil. Masalahnya, dalam pembuatan peta apakah konsultan yang memenangkan tender membuat peta mau berkomitmen untuk berkoordinasi dengan masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga? Artinya, pemetaan pun menjadi lebih lama, karena menginginkan hasil yang akurat dan maksimal. Akurat dan maksimal berarti waktu pun bertambah. Buatlah waktu yang realistis untuk deadline, dan sebaiknya tidak ada pembuat peta yang overlap mengerjakan project, karena akan tidak maksimal.
Biaya pun sebenarnya bisa ditekan jika masyarakat adat mau membantu pemetaan, karena ini juga menyangkut kepentingan mereka juga. Daripada tidak diakui wilayahnya? Inilah yang disemestinya disebut dengan ONE MAP POLICY. Kebijakan Satu Peta. Memang dikeluarkan lembaga berwenang, ditenderkan dan dimenangkan lalu dikerjakan oleh konsultan, tetapi alangkah baiknya jika dibuat UU untuk melibatkan masyarakat setiap membuat peta, terutama untuk peta skala menengah dan besar. Dan apabila dari citra, pergunakanlah citra yang memang tampak jelas, jangan samar-samar, karena akan mempengaruhi output kualitas peta yang dihasilkan. )
Masalah tanah lagi-lagi sengketa tanah dengan perusahaan yang ingin membuka lahan, karena tanah masyarakat adat tidak terpetakan dalam peta, jadi pemerintah memberi izin untuk membuka lahan.
{ Tanah adat, semestinya dibuatkan setifikat tanahnya—inilah yang pernah menjadi fokus oleh Bapak I Made Sandy dulu. Anak didikannya, Pak Silalahi sayangnya sudah wafat, sehingga informasi ini entah bisa dijelaskan kembali oleh siapa, tetapi tentu buku-buku dan para pakar pertanahan masih ada hingga sekarang (I hope the honest individuals will be the winners) }.
Akhirnya, demi melawan pemerintah (yang seharusnya pemerintah mendampingi rakyat)—pemerintah yang sudah memberikan izin pada perusahaan membuka lahan baik untuk perkebunan maupun pertambangan—masyarakat melakukan cara-cara yang sama seperti yang dilakukan pemerintah yakni membuat peta. Ya, pemetaan partisipatif dibantu oleh para LSM.
Contohnya masyarakat Kalimantan Barat. Suku Dayak dan Dronas. Masyarakat adat disini melakukan pemetaan partisipatif guna mempertahankan wilayahnya. Dijelaskan pula dalam film sekilas mengenai perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahannya akibat hal tersebut. Kemudian masyarakat Tobelo yang semi nomaden dan berburu membutuhkan hutan untuk menghidupi keluarganya.
Film berlanjut pada Panduman dan Sipituha (Sumatera). Disana hutan tidak dibakar oleh masyarakat adat, tetapi malah dilestarikan. Alasannya karena itulah mata pencaharian mereka. Misalnya, pohon kemenyan mereka ambil getahnya lalu dijual untuk membuat dupa. Namun bapak-bapak yang melakukan mata pencahariannya, karena mendadak menjadi wilayah konsesi ditangkap oleh aparat kepolisian. “Hutan kami harus dipulangkan pada kami”. “Prinsip saya semua hutan yang ada di Indonesia gak boleh dihilangkan.”
Dibahas pula Sungai Utik, Kalimantan Barat, Indonesia. Disebutkan bahwa hutan itu sangat penting untuk penunjang ekonomi karena banyak sekali yang bisa dipakai. Hutan dengan masyarakat sini menjadi kawan. Pernah ada Tangerang Limited, lalu masyarakat adat demo. “Kalo wilayah ini selamat dan tidak ada konsensi disini dan masih luas, apa yang buat kita pertahankan karena semua di hutan.”
Ya, hutan menjadi sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyakat adat. Banyak tanaman di hutan yang bisa untuk obat (misalnya penyakit gatal, demam, flu, dll) “Rasa syukur pada daerah hutan mesti dijaga”.
Film kemudian dilanjutkan dengan diskusi oleh INFIS (E.N. Irawan Putera), Pusat Studi Antropologi UI—Peneliti senior di PUSCA (Mas Aji), Forest Watch Indonesia (Mas Mufti)—sudah menghasilkan berbagai publikasi. Mereka ingin bikin sistem pelaporan online Indonesia mengenai hutan, tapi kenapa tidak terintegrasi dengan “ LAPOR! “ ?
“60% hutan dikuasai konsensi pertambangan dari luas daratan di pulau-pulau kecil”
“Karena sumber kehidupan masyarakat adat adalah hutan, tidak mungkin membakar hutan”.
“Kebanyakan perusahaan tidak mau bicara...”.
“Sayang sekali dari pembicara tidak satupun ada orang geografinya, padahal geografi mempelajari tentang masyarakat adat juga, dan pemetaan kunci utama dari pembahasan geografer. Peta adalah alat kami—sebagai science dan tools” (Lady)
Kalo Bukan Kita, Siapa Lagi? If Not Us, Then Who?
--------------------------------------------------------------------------------------
Pemutaran Film dan Diskusi: Perjuangan Masyarakat Adat dalam Melindungi Hutan Indonesia dan Perubahan Iklim secara Global.
Pusat Riset Perubahan Iklim UI bekerja sama dengan Indonesia Nature Film Society (INFIS).
Dear X
Kamis, 10 Desember 2015
Siapa Penjaga “Langsung” Hutan di Indonesia?
Label:
Forest Watch Indonesia,
GEOGRAFI,
hutan,
I Made Sandy,
INFIS,
kalimantan,
konsensi,
masyarakat adat,
One Map Policy,
pemetaan,
pertambangan,
Perubahan Iklim,
peta,
Sumatera,
Sungai Utik,
tanah
Selasa, 08 Desember 2015
Tanah di Jakarta (sekilas tentang harga tanah) Jakarta & tata kota
Tulisan ini tidak terlalu akademis, karena
tidak menuliskan data kuantitatif. Terutama mengenai harga tanah di Jakarta.
Sudah kita ketahui bahwa lingkungan di
Jakarta baik udara, tanah, air sudah tidak dalam kondisi baik, bahkan dapat
dikatakan tercemar. Namun warga Indonesia dari seluruh pelosok Indonesia masih
berduyun-duyun memilih datang ke kota ini. Ya, ternyata degradasi lingkungan
bukanlah penghalang orang untuk tinggal di Jakarta, tetapi desakan ekonomilah
dan fasilitas yang memadai (bahkan "mewah") yang menuai berkumpulnya
masyarakat di suatu tempat. Tidak dapat dipungkiri, dimana ada pekerjaan yang
layak disitulah manusia mengejarnya. Demikianlah Jakarta. Bagai roti yang
dikerumuni semut-semut dari berbagai suku. Tidak peduli roti tersebut di daerah
bersih, berlumpur atau tidak. Ah, kebutuhan hiduplah yang mendorong orang-orang
ke Jakarta.
Jika sudah bekerja, orang tentu butuh
tempat tinggal. Namun karena tanah di Jakarta cukup sangat mahal, maka orang
tidak mampu membeli rumah di dekat tempat kerja. Akhirnya orang memilih menyewa
dekat tempat kerja untuk ditinggali sementara.
Namun jika berkeinginan memiliki rumah (terutama
pasangan muda) dan dana kurang membelinya di Jakarta, maka pilihan jatuh ke
daerah rumah murah yang tidak begitu jauh dari tempatnya bekerja. Kebetulan
daerah yang cukup terjangkau ada di luar Jakarta yaitu antara bodetabek. Itupun
dengan menabung sekitar 8 tahun jika cash, dan kurang 5 tahun jika kredit
(untuk DP, belum untuk cicilannya). Kita sederhanakan saja: akhirnya yang
terjadi ialah komunitas ulang-alik yang kita sebut komutter. Mereka inilah yang
bermacet-macetan menuju ibukota tiap pagi dan menuju rumahnya masing-masing
jika menjelang malam. Berdesak-desakan jika dengan kendaraan umum,
bermacet-macetan jika dengan kendaraan pribadi.
Jika pemerintah mau menyalahkan, bukanlah
orang yang bekerja ini dengan kendaraan pribadi atau umum yang harus
dipersalahkan, tapi:
1. Kenapa konsentrasi pekerjaan mayoritas
menumpuk di Jakarta?
2. Kenapa tidak dibuat sistem dimana rumah
pekerja diwajibkan dekat dengan tempatnya bekerja? Mungkin dengan apartemen
yang tidak mahal di sekitar tempat bekerja, perusahaan memberikan mess untuk tinggal atau posisi tempat
tinggal sewa yang strategis dari kantor, dll.
Kembali pada topik tanah di Jakarta.
Ya, tanah di Jakarta semakin ke pusat
Jakarta semakin mahal sekitar entah berapa M. Hal ini tidak ada kaitannya
dengan semakin terdegradasinya lingkungan Jakarta (kecuali jika dikaitkan
dengan daerah semakin ke utara Jakarta semakin rusak airnya atau terkena
intrusi). Degradasi yang dimaksud ialah air, tanah dan udara. Persoalannya
tanah di Jakarta semakin tinggi karena pajak semakin ditinggikan, spekulan
tanah bermain, dan semakin pentingnya Jakarta sebagai tempat pergerakan uang
terbesar di Indonesia. Bayangkan saja, 70% pergerakan uang di Indonesia ada di
Jakarta!
Padahal, jika dipikir-pikir kalau tinggal
di rumah yang air, udara dan tanahnya sudah tercemar untuk apa? Karena akan
membuat kondisi kesehatan kurang baik. Untuk apa uang itu sendiri jika
lingkungan, bahkan lingkungan calon rumah sendiri sudah tercemar? Hidup mencari
nafkah, tapi nafkah yang dipergunakan tidak bisa menebus biaya pengobatan yang
sangat besar dari pencemaran lingkungan tersebut. Tubuh yang sudah terkena
kontaminasi akan sulit dikembalikan semula kesehatannya.
Pertanyaannya, bisakah alam termasuk
tanah, air dan udara di Jakarta ini diperbaiki? Satu-satunya jawaban adalah
penataan kota yang baik melalui penataan oleh para ahli lingkungan, warganya
sendiri dan para rekayasawan/teknolog. Seperti dalam buku "Kota yang
Berkelanjutan" oleh Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto, kota berkelanjutan
ialah kota yang merupakan perpaduan antara ecopolis, humanopolis dan
technopolis.
Yang menjadi masalah, siapa yang mau
menjadi “jembatan” agar bersatu memperbaiki kota ini? Contoh orang Indonesia
yang berhasil menjembatani yakni Astrid Sri Haryati dengan kota San Francisco
dan kota Chicago, Amerika? (sebagai catatan beliau menjembatani dalam aspek
penghijauan kota, bukan dalam hal seluruh aspek lingkungan, tetapi poinnya
ialah “menjembatani”). Next time tentang beliau akan saya bahas dalam blog ini.
Intinya, diperlukan penasehat dari pihak ahli lingkungan, warga kota Jakarta,
dan perekayasawan/wati/teknolog yang menjembatani demi kepentingan bersama (berdiskusi
bersama).
Sabtu, 05 Desember 2015
LAPOR! 2013 vs konsep ide gue 2012
Seneng banget! Sebenernya udah berita lama. Tapi gue baru ngubek-ngubek sekarang hehe.
Coba deh liat di http://www.republika.co.id/berita/rol-to-campus/feui/12/06/18/m5srxu-pemerintah-tak-punya-public-relations-yang-baik tahun 2012 lalu atau disini http://jeveuxuneaugmentation.blogspot.co.id/2015/12/pemerintah-tak-punya-public-relations.html
Idenya LAPOR! ( https://www.lapor.go.id/ ) mirip sama konsep custumer serviceyang gue tulis.
Seneng idenya direalisasikan, tapi kok ga bilang-bilang ya? -_____- jlebjlebjleb
Gue gak sukanya Indonesia kayak gitu tuh. Gak apresiasi ide orang lain, ambil ide orang gitu aja gak bilang-bilang. Gue seneng idenya dipake dan direalisasiin, tapi alangkah LEBIH ETIS kalau memberitahu pada yang mencetuskan ide awalnya.
Makasih banyak.
Coba deh liat di http://www.republika.co.id/berita/rol-to-campus/feui/12/06/18/m5srxu-pemerintah-tak-punya-public-relations-yang-baik tahun 2012 lalu atau disini http://jeveuxuneaugmentation.blogspot.co.id/2015/12/pemerintah-tak-punya-public-relations.html
Idenya LAPOR! ( https://www.lapor.go.id/ ) mirip sama konsep custumer serviceyang gue tulis.
Seneng idenya direalisasikan, tapi kok ga bilang-bilang ya? -_____- jlebjlebjleb
Gue gak sukanya Indonesia kayak gitu tuh. Gak apresiasi ide orang lain, ambil ide orang gitu aja gak bilang-bilang. Gue seneng idenya dipake dan direalisasiin, tapi alangkah LEBIH ETIS kalau memberitahu pada yang mencetuskan ide awalnya.
Makasih banyak.
Pemerintah tak Punya Public Relations yang Baik
http://www.republika.co.id/berita/rol-to-campus/feui/12/06/18/m5srxu-pemerintah-tak-punya-public-relations-yang-baik
Tulisan gue jaman dulu. Sebenernya judulnya diubah..yang asli: "Desakan Sebuah Kebijakan".
Senin, 18 Juni 2012.
REPUBLIKA.CO.ID,Bait tulisan“Sebaiknya pemerintah melakukan...”, “Pemerintah dalam hal ini diharapkan...” dalam tulisan opini-opini media massa dalam sebuah kolom opini, biasanya tidak lepas dari kalimat semacam ini. Seringkali saya membaca tulisan-tulisan opini pada mulanya berbobot, mengkisahkan
Tulisan gue jaman dulu. Sebenernya judulnya diubah..yang asli: "Desakan Sebuah Kebijakan".
Senin, 18 Juni 2012.
REPUBLIKA.CO.ID,Bait tulisan“Sebaiknya pemerintah melakukan...”, “Pemerintah dalam hal ini diharapkan...” dalam tulisan opini-opini media massa dalam sebuah kolom opini, biasanya tidak lepas dari kalimat semacam ini. Seringkali saya membaca tulisan-tulisan opini pada mulanya berbobot, mengkisahkan
berbagai fenomena mengerikan di masyarakat, akan tetapi pada akhirnya tak lepas dari ‘memasrahkan harapannya pada pemerintah’.
Saya tidak mencoba berargumen bahwa tulisan tersebut adalah sebuah kesalahan. Kesalahan utama adalah saat kita sebagai makhlukNya kadang ingin merasa benar, sehingga tidak mencoba menelusuri lewat kacamata orang lain. Pemerintah, dalam suatu negara adalah sebuah maha-organisasi, yang sangat besar wewenangnya, tetapi tetaplah pemerintah yang terdiri dari individu-individu. Artinya ketidaksinkronisasi sangat mungkin terjadi disini. Sinkronisasi bahwa tidak semua dari mereka tahu apa yang kita ketahui.
Pelayangan ketidakpuasan di negeri ini, baik berbentuk kekesalan, kesedihan, ketidaksenangan seringkali terkuak lewat media yang tidak langsung bersinggungan dengan pemerintah. Twitter, facebookmisalnya. Media massa seperti koran dan radio sendiri pun bisa dikategorikan media tidak langsung yang bersinggungan dengan pemerintah.
Permasalahan utama disini adalah mengapa tidak dibuat sarana pelampiasan permasalahan di Indonesia semacam operator customer service yang langsung terhubung dengan pemerintah? Konsep yang serupa dengan perusahaan penjual produk pada pembelinya untuk mengetahui keinginan sang pembeli. Tentunya konsep ini berarti dimana customer adalah rakyat, dan rakyat menjadi “pembeli” akan service pemerintah.
Konsep operator ini bisa dalam bentuk layanan telepon langsung bebas pulsa dimana, sang operator menjadi pencatat apa yang diinginkan masyarakat. Catatan operator hanyalah poin-poin inti yang diberikan pada pemerintah. Jika pemerintah yang dimaksud adalah presiden, catatan ini diberikan langsung pada beliau. Jika pemerintah yang dimaksud adalah kepala menteri perdagangan pun, catatan ini diberikan langsung pula. Penyertaan bukti catatan dapat berupa rekaman percakapan telepon antara rakyat yang komplain dengan operator.
Namun customer service tidaklah boleh satu arah saja. Perlu ada timbal-balik “jawaban” pada si rakyat yang komplain. Rakyat yang komplain harus memberikan kontak nomor yang bisa dihubungi. Ini dimaksudkan agar komunikasi tetap terjalin sampai permasalahan diselesaikan oleh pemerintah. Kontak nomor pun merupakan bentuk tanggung jawab sang rakyat yang komplain. Sebuah ancaman pula bagi sang rakyat jika komplain yang ia berikan adalah dusta belaka. Sebagai rakyat yang baik, tentunya, rakyat yang komplain pun memiliki keinginan untuk terus-menerus mengikuti permasalahan kasusnya
hingga selesai bukan?
Konsep operator customer service antara rakyat dengan pemerintah bisa dicontohkan sebagai berikut. A dari desa Citarate, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi sudah mencoba komplain rusaknya jalan di desanya yang menyebabkan terhambatnya akses transportasi truk-truk pasir serta aktivitas warga. Ia telah menginformasikan ini pada lurah, bupati, serta gubernur provinsinya melalui surat tetapi hingga mencapai setahun belum ada tanda-tanda perbaikan dari pemerintah tingkat ini. Bersusah payah berusaha melapor pada presiden di istana akan tetapi nihil. Nihil karena ia dianggap tidak berkepentingan dengan presiden secara khusus, ataupun belum memiliki janji dengan presiden. Berita tentang rusaknya jalan di Desa Citarate pun sudah dipublikasikan media, akan tetapi akhirnya tenggelam oleh berita-berita yang lebih hot dari rusaknya akses jalan Citarate. Akhirnya permasalahan tidak terselesaikan, dan masih terus berlanjut dengan terhambatnya aktivitas warga Citarate.
Saya tidak mencoba berargumen bahwa tulisan tersebut adalah sebuah kesalahan. Kesalahan utama adalah saat kita sebagai makhlukNya kadang ingin merasa benar, sehingga tidak mencoba menelusuri lewat kacamata orang lain. Pemerintah, dalam suatu negara adalah sebuah maha-organisasi, yang sangat besar wewenangnya, tetapi tetaplah pemerintah yang terdiri dari individu-individu. Artinya ketidaksinkronisasi sangat mungkin terjadi disini. Sinkronisasi bahwa tidak semua dari mereka tahu apa yang kita ketahui.
Pelayangan ketidakpuasan di negeri ini, baik berbentuk kekesalan, kesedihan, ketidaksenangan seringkali terkuak lewat media yang tidak langsung bersinggungan dengan pemerintah. Twitter, facebookmisalnya. Media massa seperti koran dan radio sendiri pun bisa dikategorikan media tidak langsung yang bersinggungan dengan pemerintah.
Permasalahan utama disini adalah mengapa tidak dibuat sarana pelampiasan permasalahan di Indonesia semacam operator customer service yang langsung terhubung dengan pemerintah? Konsep yang serupa dengan perusahaan penjual produk pada pembelinya untuk mengetahui keinginan sang pembeli. Tentunya konsep ini berarti dimana customer adalah rakyat, dan rakyat menjadi “pembeli” akan service pemerintah.
Konsep operator ini bisa dalam bentuk layanan telepon langsung bebas pulsa dimana, sang operator menjadi pencatat apa yang diinginkan masyarakat. Catatan operator hanyalah poin-poin inti yang diberikan pada pemerintah. Jika pemerintah yang dimaksud adalah presiden, catatan ini diberikan langsung pada beliau. Jika pemerintah yang dimaksud adalah kepala menteri perdagangan pun, catatan ini diberikan langsung pula. Penyertaan bukti catatan dapat berupa rekaman percakapan telepon antara rakyat yang komplain dengan operator.
Namun customer service tidaklah boleh satu arah saja. Perlu ada timbal-balik “jawaban” pada si rakyat yang komplain. Rakyat yang komplain harus memberikan kontak nomor yang bisa dihubungi. Ini dimaksudkan agar komunikasi tetap terjalin sampai permasalahan diselesaikan oleh pemerintah. Kontak nomor pun merupakan bentuk tanggung jawab sang rakyat yang komplain. Sebuah ancaman pula bagi sang rakyat jika komplain yang ia berikan adalah dusta belaka. Sebagai rakyat yang baik, tentunya, rakyat yang komplain pun memiliki keinginan untuk terus-menerus mengikuti permasalahan kasusnya
hingga selesai bukan?
Konsep operator customer service antara rakyat dengan pemerintah bisa dicontohkan sebagai berikut. A dari desa Citarate, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi sudah mencoba komplain rusaknya jalan di desanya yang menyebabkan terhambatnya akses transportasi truk-truk pasir serta aktivitas warga. Ia telah menginformasikan ini pada lurah, bupati, serta gubernur provinsinya melalui surat tetapi hingga mencapai setahun belum ada tanda-tanda perbaikan dari pemerintah tingkat ini. Bersusah payah berusaha melapor pada presiden di istana akan tetapi nihil. Nihil karena ia dianggap tidak berkepentingan dengan presiden secara khusus, ataupun belum memiliki janji dengan presiden. Berita tentang rusaknya jalan di Desa Citarate pun sudah dipublikasikan media, akan tetapi akhirnya tenggelam oleh berita-berita yang lebih hot dari rusaknya akses jalan Citarate. Akhirnya permasalahan tidak terselesaikan, dan masih terus berlanjut dengan terhambatnya aktivitas warga Citarate.
Dari kacamata saya, presiden pastilah sangat sibuk serta memiliki jadwal khusus dalam kepresidenannya (seperti kunjungan demi menjaga hubungan baik negara, rapat-rapat, dan sebagainya), sehingga memang individu yang ingin menemui beliau akan kesulitan. Konsep operator customer service adalah wadah agar semua komplain warga yang ingin diselesaikan tertampung, sehingga ketidakadilan di negeri ini tercapai secara lebih cepat. Melalui media telekomunikasi canggih seperti telepon, mengapa tidak dimanfaatkan?
penulis: Lady Hafidaty (Mahasiswi Geografi 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)