seberapa berbobotkah tulisan dia?
Urbanisasi dan Lebaran
Sabtu, 25 Agustus 2012 | 02:09 WIB
Wacana tentang arus mudik dan arus balik penduduk kota pada peristiwa Lebaran terkait erat dengan fenomena gerak penduduk.
Mudik berarti kembalinya sebagian penduduk dari kota-kota besar ke kota-kota kecil atau desa-desa, tempat mereka dilahirkan atau hidup pada masa kecil. Ritus tersebut dilakukan dalam rangka merayakan Lebaran atau Idul Fitri dengan berkumpul bersama sanak saudara dan handai tolan untuk bersilaturahim, saling memaafkan, sekaligus berlibur. Sementara balik adalah kembalinya mereka ke kota tempat mencari nafkah, bersekolah, atau berkarya dalam sektor sosial-budaya.
Namun, tampaknya ada kecenderungan orang-orang yang balik ke kota jumlahnya menjadi lebih besar ketimbang yang mudik. Hal ini karena sebagian pemudik—terutama yang berasal dari penduduk lapisan menengah ke bawah—waktu balik ke kota membawa kerabat, teman, atau tetangga yang juga hendak mengadu nasib di kota.
Dalam konteks inilah arus balik pada waktu Lebaran sekaligus menunjuk pada gerak penduduk (population mobility), perpindahan penduduk dari desa ke kota dan bertambahnya jumlah penduduk kota. Inilah bagian dari fenomena urbanisasi.
Metodis-komprehensif
Wilayah perkotaan di Eropa dan Amerika, terutama mulai abad ke-19, menjadi jauh lebih dinamis daripada wilayah pedesaan. Para pengambil keputusan pada pemerintahan yang bekerja dan tinggal di kota terus mendorong wilayah sekitar dan terdekat mereka untuk lebih berkembang dalam hal perekonomian, pendidikan formal, dan sektor sosial-budayanya.
Lantaran dorongan itulah kemudian kota tak lagi melulu sebagai pusat pemerintahan. Lalu, berbondong-bondonglah penduduk pedesaan mendatanginya untuk mencari peluang usaha dan kesempatan kerja, meneruskan sekolah, dan mengembangkan kreativitas budaya.
Taiwan pada akhir 1950-an dan Korea Selatan pada awal 1960-an juga melakukan hal yang sama. Bahkan, untuk wilayah pedesaannya dilakukan reforma agraria, penataan pada penguasaan dan pemilikan tanah supaya distribusinya lebih merata, cara produksi pertaniannya menjadi lebih efisien, dan tenaga kerjanya dapat berkontribusi secara optimal. Pembangunan kota dan reforma agraria tersebut langsung menambah gerak penduduk dari desa ke kota.
Namun, dalam rangka pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan di sana, negara- negara tersebut melakukan perencanaan yang metodis-komprehensif. Juga membuat berbagai aturan yang diterapkan secara konsisten. Tidak dilakukan pembatasan penduduk yang datang ke kota, tetapi pendatang mesti menaati aturan yang sudah ditetapkan, dan bila melanggar diberi sanksi keras. Karena itu, kota-kota menjadi lebih teratur dan tertib, di antaranya dalam penggunaan tata ruang dan perilaku penduduknya di ruang-ruang publik.
Terlebih dengan berlangsungnya dinamika ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan di kota serta reforma agraria di desa, urbanisasi jadi tidak terelakkan. Bahkan, kian membesar. Akan tetapi, pemerintah pun memperoleh pendapatan yang besar dari hasil pungutan pajak, retribusi, dan pungutan legal lainnya dari penduduk kota yang bertambah tersebut. Hasil pengutan itu sebagian dialokasikan untuk membangun infrastruktur serta sarana ekonomi, pendidikan, dan ruang-ruang publik untuk pengembangan kreativitas kebudayaan dengan tetap menegakkan aturan secara konsisten.
Dengan demikian, secara historis urbanisasi merupakan gejala yang taken for granted. Begitulah yang akan terjadi dalam konteks dinamika kota.
Dalam sejarah memang terjadi juga perpindahan penduduk dari kota ke desa atau ruralisasi. Namun, itu berlangsung dalam situasi ”abnormal”. Umpamanya karena terjadinya kerusuhan atau konflik terbuka yang dahsyat di perkotaan.
Akan tetapi, gerak penduduk dari kota ke desa itu bersifat temporer: jika situasi di kota sudah pulih, mereka akan kembali. Atau ruralisasi itu dilakukan lewat tindakan represif dan koersif, seperti yang terjadi di China pada masa Revolusi Kebudayaan, yakni ketika Mao Zedong memegang tampuk kekuasaan pada periode 1960-an. Juga di Kamboja pada masa rezim Pol Pot periode 1970-an. Namun, ruralisasi yang memakai kekerasan dan paksaan itu telah menimbulkan korban jiwa yang tak terkira jumlahnya. Jutaan orang mati dan menderita, dan terjadi kemandekan ekonomi, baik di desa maupun di kota.
Wajar dan niscaya
Dari waktu ke waktu, kota-kota di Indonesia pun menghadapi kasus urbanisasi ini. Dan, itu sesuatu yang wajar, yang dimungkinkan karena terjadinya pertumbuhan ekonomi di kota, sementara di desa malah terjadi kemandekan ekonomi. Di mana ada gula, di situ ada semut! Lebaran hanyalah satu momentum dalam proses urbanisasi itu, mungkin beberapa hari setelah Lebaran penduduk yang datang ke kota sedikit lebih besar ketimbang di waktu-waktu biasa.
Hanya di Indonesia urbanisasi ini menjadi masalah. Umumnya tingkat pendidikan pendatang rendah, kurang punya keahlian dan keterampilan, serta tentunya juga tidak memiliki kapital. Pada akhirnya sebagian besar dari mereka ”terjebak” ke dalam ekonomi informal dan kerja serabutan. Di antaranya menjadi pedagang kaki lima yang menempati trotoar, taman-taman, bahkan sampai menduduki sebagian badan jalan.
Dalam hal kebutuhan permukiman, banyak di antara mereka yang kemudian tinggal di kolong-kolong jembatan, sempadan sungai, taman-taman, atau tempat-tempat kosong lain. Di sana mereka mendirikan gubuk-gubuk liar yang dihuni banyak orang sehingga memperlihatkan permukiman padat dan kumuh.
Memang, bagi kota-kota di Indonesia urbanisasi menjadi persoalan besar. Akan tetapi, itu juga karena pemerintah tidak banyak melakukan persiapan untuk mengakomodasi dan mengelolanya, seperti yang dilakukan negara-negara yang disebut di atas.
Oleh karena itu, tak usah heran—bahkan dapat dipastikan— bila mobilitas penduduk dari pedesaan ini (apakah di waktu Lebaran atau di waktu biasa) membuat kota-kota kian padat dan pengap. Kota menjadi tak teratur, dipenuhi permukiman kumuh, dijejali para pekerja serabutan di sektor informal dan ilegal, serta ruang-ruang publik yang tidak tertib alias semrawut.
Fenomena urbanisasi, pergerakan penduduk dari desa ke kota, pada masa lalu, masa kini, dan juga pada masa yang akan datang—apakah pada saat Lebaran atau pada hari-hari biasa— pasti terjadi. Jadi, pemerintah kota harus siap mengelolanya.
Budi Rajab Pengajar pada Jurusan Antropologi FISIP Unpad